Minggu, 16 November 2014

SERI KISAH BUNIAN : KERAJAAN BAWAH AIR / HIKAYAT KANJENG RATU (SERI IV)

MENDUNG DI LANGIT PAJAJARAN
(1)





Pagi itu juga, Purgabaya Jalak Suta tak ingin berlama-lama meninggalkan Pajajaran. Tugas yang diembannya telah tercapai dan ia pun ingin segera mengetahui sampai sejauh mana upaya yang menjadi tanggungjawabnya berhasil. Namun sebelum berangkat, ia telah dititipkan sebuah racun yang sangat kuat hasil olah kemampuannya selama menggeluti dunia racun  oleh ki Pati yang tiada dua nya dan bahkan dia sendiri belum memiliki penawarnya. Perjalanan pulang Purgabaya Jalak Suta beserta rombongan sangat berbeda dibandingkan saat pergi, lebih cepat rasanya dari sebelum menuju tempat Ki Pati.

Namun sementara itu di Pajajaran menjadi heboh, di peraduan Sang Permaisuri sudah ramai berkumpul para emban dan pengawal. Sang Abhiseka tampak berada diatas tempat tidur masih belum sadarkan diri, sang ibunda nya pun tampak sesegukan menangis melihat sang putri kesayanganyadalam lara yang pedih.

Apakah yang terjadi ? Mengapa sedemikian jahatnya perlakuan entah siapa itu hingga membuat putri kesayangannya tak sadarkan diri dan ada rasa sakit yang menusuk hati adalah sekujur tubuh putrinya itu bagaikan hangus terbakar. Kulit nya melepuh hingga sampai ke wajah.... oh, gusti... jerit hatinya... kenapa begitu berat apa yang dialami putrinya ini. Kenapa tidak ditimpakan semua kepada dirinya, yang meninggalkan kahyangan demi kasihnya dan betapa pun berat kehidupan sebagai manusia biasa.... mampu ia jalani. Namun ini.... sungguh diluar batas kesabarannya sebagai manusia. Begitulah kemelut hati ibu putri Kadhita semakin membuncah dan air mata tak henti menetes manakala melihat kondisi putrinya.

Sementara, di kamar tersebut telah hadir sang Raja dengan tergopoh-gopoh datang setelah salah seorang emban sang Ratu mengabari bahwa ada kejadian aneh di peraduan sang permaisuri yang mengakibatkan Abhiseka Pajajaran itu terluka parah.

“Duh, Gusti... apa yang terjadi, kenapa bisa begini ?” Tanya sang Raja, semua terdiam, hanya terdengar sesegukan tangis istrinya.

“Panggilkan tabib istana seegera...!” Wajah nya terlihat gusar dan sangat marah diusianya yang semakin senja.

“Sudah dipanggil Tuanku...”, ucap seorang Purgabaya yang bertanggung jawab keamanan di wilayah kediaman tersebut. Ia kemudian mengikuti sang Raja duduk dipinggir tempat tidur, kemudian menceritakan kejadian yang menimpa putri Kadhita yang ia dapatkan dari Permaisuri menjadi sebuah laporan.

Tabib istana yang dipanggil sudah memasuki kamar dan langsung mendekati tempat tidur, ia mendapat penjelasan sebagaimana yang diceritakan oleh Purgabaya jaga tersebut. Ia kemudian mengambil perbekalan dan mengeluarkan sebuah salep luka dan dengan kuas bulu salep tersebut di usapkan ke kulit putri Kadhita dibantu emban sang permaisuri untuk bagian yang terlarang dilihat oleh lelaki. Kemudian sang tabib membuat obat dalam, namun sebelum itu ia menciumkan botol kecil ke hidung sang putri yang membuatnya menjadi terbangun dan merintih kesakitan.

“Ibunda.....”, rintih sang putri. “Apa yang terjadi pada diri ku ?” Ibunda nya hanya dapat menangis sambil memegang tangan putri nya. “Tubuh ananda perih dan sakit....panas sekali...”, keluhnya.

Sang Raja yang perkasa pun tak mampu menahan air mata, letupan amarah menggelegak dalam dada. Namun itu malah membuat linangan air mata nya jatuh berderai. Kegagahannya luluh oleh tangis seorang ayah yang melihat penderitaan calon pengganti nya. Ada rasa sesal memilih putrinya menjadi pengganti dirinya sehingga menyebabkan putri Kadhita menjadi sasaran pembunuhan yang telah dilakukan berkali-kali oleh orang yang tidak menyetujui.

Kondisi putri Kadhita sendiri sekujur tubuhnya melepuh seperti terpanggang api atau seperti terkena awan panas... 80% luka bakar. Sungguh dahsyat serangan yang dilakukan oleh Ki Pati dari jarak yang sangat jauh dan walau tidak dapat mengenai secara langsung namun efek nya saja sungguh sangat mengerikan.... Jika bukan putri Kadhita, tentu jiwa nya akan segera menemui sang Dewa Yamadipati saat itu juga.

Kerabat dekat kerajaan semua berkumpul di ruangan dimana putri Kadhita mendapat perawatan dan penjagaan super ketat dibanding biasa nya. Semua menunjukkan empati apa yang dialami sang putri atas kejadian yang dengan keji menimpa sang Abhiseka. Termasuk Dewi Nawang Sari pun hadir, juga Mpu Tunggah yang ikut berbela duka atas kejadian tersebut.

Tetapi tak seorangpun tahu bahwa itu semua adalah atas ulah Dewi Nawang Sari yang di amini oleh sang penasihat spiritual raja, Mpu Tunggah.

Sepulang nya dari tempat putri Kadita, mereka bersepakat akan hadir 2 hari kemudian di tempat Mpu Tunggah, sekalian menerima kedatangan puragabaya Jalak Suta dari tugas rahasia nya.

Hari-hari berlalu, Pajajaran dalam kesedihan. Berita tentang kejadian yang dialami putri Kadita menyebar diseantero negeri bahkan negeri-negeri tetangga. Sungguh cepat sekali berita tersebut beredar, apalagi sang putri adalah seorang gadis yang rupawan tentu lah menjadi perhatian semua orang. Semuanya berduka atas kejadian yang menimpa sang putri Kadita.

Sudah 2 hari kejadian berselang, namun tubuh putri Kadita tak semakin membaik. Dari luka-luka yang diderita nya semakin parah dan keluarlah nanah yang menyebabkan tercium bau busuk. Selain sakit sekujur tubuh nya putri Kadita pun terasa teriris hati dan jiwa nya melihat kondisinya yang menjijikkan, obat-obatan yang diberikan tabib istana tidak membuatnya semakin baik. Hal ini mungkin karena racun angin yang dikirim seseorang untuk membunuh dirinya.

Sementara itu dikediaman Mpu Tunggah telah tiba Puragabaya Jalak Suta beserta rombongan yang disambut oleh tuan rumah dan juga Dewi Nawang Sari.Jalak Suta langsung mengadakan pertemuan tertutup dan rombongan lainnya beristirahat di gandok.

Setelah menghirup wedang jahe panas, Jalak Suta menceritakan pertemuannya dengan Ki Pati. Mpu Tunggah dan Dewi Nawang Sari mendengarkan dengan seksama dan tidak melewatkan satu katapun. Termasuk bubuk racun yang diberikan Ki Pati kepadanya, sebagai jaga-jaga jika diperlukan untuk mensukseskan tujuan mereka.

“Baik lah Jalak Suta, terimakasih atas pengorbananmu dan tentunya akan ada imbalan atas kesetiaanmu ini”, ujar Dewi Nawang Sari. Jalak Suta hanya terdiam sambil mengangguk dan kedua telapak tangannya merapat di depan wajahnya dambil menjawab, “Terimakasih, Kanjeng Ratu..”.

Mpu Tunggah tersenyum simpul seraya berkata dan menepuk pundak Jalak Suta, “istirahat lah di kamar yang telah disediakan setelah perjalanan yang jauh...”.
“Terima kasih Kanjeng Ratu... terimakasih Mpu...,” jawab Jalak Suta sambil menghormat pada kedua teman bicara nya dan dia pun beringsut mundur meninggalkan tempat pertemuan itu.

Kini tinggallah Mpu Tunggah dan Dewi Nawang Sari sepeninggal Jalak Suta yang menyusul rekan-rekannya yang lebih dahulu beristirahat.

“Rencana kita semakin jelas. “, ucap Dewi Nawang Sari kepada Mpu Tunggah yang kemudian manggut-manggut mempermainkan janggutnya yang memutih.

“Benar, Kanjeng Ratu... walau tidak sepenuhnya selesai dengan segera, namun lambat laun akan sirna dari mayapada ini”.
Dewi Nawang Sari kemudian beranjak dari duduknya sambil memainkan kipas cendana yang senantiasa dipegangnya dia berkata-kata, “harus segera Mpu Tunggah, tidak boleh terlalu lama”.
Orang tua itu kemudian ikut beranjak dan berdiri agak jauh dari Dewi Nawang Sari.

“Apakah Kanjeng Ratu punya rencana lain ?” Tanya Mpu Tunggah perlahan.

“Benar..”, Dewi Nawang Sari berbalik menghadap Mpu Tunggah sambil menepukkan kipasnya ke telapak tangan kirinya. “Berita dari telik sandi Mpu.... Raden Kian Santang salah satu putra Kakanda Raja akan berkunjung ke tlatah Pajajaran”.

Wajah Mpu Tunggah menampakkan rasa terkejut dan matanya sedikit melebar tanda keterkejutannya yang luar biasa. Umumnya dalam mendapat berita apapun walau berita baru dan membuatnya tekejut sekalipun tak akan membuat air mukanya berubah tetap datar tak beriak.

“Kian Santang....”, gumamnya. Siapa yang tidak tahu siapa Raden Kian Santang, asal usul nya dan apa yang di anutnya dalam beribadat. Pemahaman baru di seluruh nuswantara, agama baru. Para Raja Nuswantara sudah beralih ke pemahaman baru itu. Hal ini membuatnya terlonjak kaget, mengingat apa dan siapa dibelakang Raden Kian Santang. Sebuah kekuatan yang besar dan tergabung dalam pemahaman baru tersebut.

Sesaat Mpu Tunggah seperti kehabisan kata-kata.

Kemudian, “Kapan pasti nya Raden Kian Santang ke Pajajaran Kanjeng Ratu ?”

“Saya belum dapat memastikan, namun perkiraan saya 6 minggu dari sekarang, Mpu..”, sahut Dewi Nawang Sari.

“Kita harus bergerak cepat, tidak dapat menunggu lagi..”, sang selir Raja Mundingwangi ini menegaskan keinginannya dan harapannya kepada Mpu Tunggah yang dikenalnya banyak akal.

Mpu Tunggah merapatkan kedua telapak tangannya dan dalam posisi menyembah, “Kanjeng Ratu.. serahkan semuanya kepada hamba dan saya minta puragabaya Jalak Suta menjadi penghubung antara saya dan Kanjeng Ratu...”.

“Baik, Mpu... saya akan menugaskannya”, tukas Dewi Nawang Sari sambil bergerak meninggalkan ruang tempat pertemuannya dengan Mpu Tunggah. Diluar sudah siap kereta nya dan sang selir pun kembali menuju kekediamannya diiringi para prajurit dan pasukan sandinya yang telah beristirahat sejenak. Mereka akan melanjutkan istirahat di tempat barak mereka di kediaman sang selir. Mereka memang ditempatkan untuk menjaga keluarga kerajaan yang mana mereka boleh memilih orang-orang dari pasukan yang telah disiapkan kerajaan.

Syahdan, berita sakitnya putri Kadita yang merupakan Abhiseka Pajajaran telah di sayembarakan. Tabib manapun jika mampu menyembuhkan sakit misterius itu akan mendapat imbalan dan akan diangkat menjadi Tabib Istana..

Banyak juga yang mencoba mengobati sang putri Kadita tapi semua tak mampu mengobati apalagi menelusuri asal muasal penyakit tersebut. Mereka rata-rata memahami bahwa ini bukanlah penyakit biasa tetapi penyakit buatan dengan kekuatan yang sangat tidak lazim dn sangat kuat. Bahkan para tabib yang mencoba mengobati hampir tidak mampu mencium bau busuk yang keluar dari tubuh putri Kadita. Bahkan dari luar kamar peraduannya pun akan tercium bau tersebut. Betapa tersiksanya sang putri, siapapun akan merasakan itu jika dalam kondisi sang putri.

Namun, untuk makan dan berjalan walau tertatih-tatih... putri Kadita dapat melakukannya. Hanya dalaam tempo beberapa hari saja sekujur kulit nya itu dari bernanah menjadi timbul ulat-ulat yang entah darimana munculnya... wajahnya yang jelita menjadi sangat mengerikan dan dulu banyak para pangeran yang mati-matian ingin mempersunting nya kini jangan kan pangeran... prajuritpun akan mundur menjauhi. Namun jangan salah kira, para embn dan prajurit setia penjaga putri Kadita sedikitpun tak beringsut menjauhi bahkan mereka ikut trenyuh akan nasib yang mendera dan mencobai junjungannya itu.

Hari –hari berlalu sudah lewat 2 pekan sejak Putri Kadita terserang angin jahat, muncul berita bahwa ada seorang tabib yang menyatakan siap membantu dengan ikhlas penyakit putri Kadita.  Si tabib ini memahami asal muasal penyakit tersebut dan memiliki penangkalnya. Berita didapat dari petugas kerajaan yang disebar ke penjuru negeri oleh Raja Mundingwangi dan tidak sia-sia.

“Panggil Purgabaya Sadewa...”, ucap sang Raja pagi itu kepada para penasihatnya di balairung kerajaan. Perintahpun berlanjut dan tak lama muncullah seorang lelaki gagah dengan kumis tipis dan bermata tajam bagaikan mata elang.

“Sendika Prabu... hamba siap menerima titah ...!” Ucap Sadewa setelah terlebih dahulu beringsut dan menyembah kepada raja nya itu... kepala nya tertunduk tanda hormat dan siap menerima tugas.

Sadewa merupakan salah satu Purgabaya pilih tanding dan telah melewati berbagai tugas serta pertempuran sehingga diangkat menjadi Purgabaya di lingkungan kerajaan. Ketrampilan berkuda dan membentuk barisan tempur dikuasainya dengan baik. Tak salah karir nya meroket dan tentu sebagai lelaki yang berwajah rupawan ada satu kegemaran yang buruk, dia senang bertandang ke tempat ledhek yang berpupur tebal. Sehingga diusianya yang cukup matang dia belum menentukan pilihan pasangan hidupnya.

Sang Raja menatap Purgabaya Sadewa dan berkata, “pergilah ke ujung timur batas kerajaan ini, jemputlah seorang tabib dimana disana sudah menunggu prajurit yang menemukan tabib itu.”

“Sendika, Prabu...., titah paduka hamba laksanakan”, ucap sang Raja sambil tangannya melakukan sembah.

“Pergilah, bawa pengiring mu secukupnya..”.

“Sendika, Prabhu.... hamba mohon restu dan pamit...”, Purgabaya Sadewa beringsut mundur dan meninggalkan ruangan.


Pembicaraan tersebut didengar oleh Mpu Tunggah yang ikut hadir di balairung tersebut. Tangannya kemudian melambai samar kepada prajurit jaga yang berpihak kepadanya.

Prajurit itu tidak terlihat dan dari balik tirai dia berdiri siap mendeengar apa yang ingin disampaikan Mpu Tunggah.

“Ambil kotak kecil berisi sebuah botol kaca di dalam lemari ruang meditasi, sampaikan ke Kidang Tangkas. Jangan sampai tabib itu tiba di istana”, bisik Mpu Tunggah kepada Wuryan si prajurit sambil memberikan simbol lencananya.

“Baik Kanjeng..”, Wuryan pun segera melesat pergi. Sesampai di tempat pekatik diambilnya kuda dan diapun segera membalap ke kediaman sang Mpu. Tak jauh dan tak lama, ia sudah ditempat. Disana Wuryan menunjukkan lencana sang Mpu kepada penjaga dan ia pun menuju ruangan yang dimaksud. Tak lama ia pun dapat menemukan apa yang dicarinya sesuai pesan Mpu Tunggah.

Kidang Tangkas adalah lurah prajurit kepercayaan Purgabaya Sadewa dan merupakan kerabat jauh dari Mpu Tunggah yanng sedari kecil sudah dititipkan kedua orang tuanya kepadanya untuk mengabdi dan merubah kehidupan menjadi lebih baik. Tidak sia-sia harapan kedua orang tuanya, Kidang Tangkas memang setangkas kijang, gesit dan cekatan sehingga dengan mudah ia masuk ke dunia militer atas titipan Mpu Tunggah. Sehingga mata dan telinga Mpu Tunggah untuk dunia keprajuritan ada pada Kidang Tangkas.

Berita bahwa ada tabib dibatas timur kerajaan sampai juga ke Dewi Nawang Sari. Saat itu juga ia meminta puragabaya Jalak Suta untuk bertindak agar jangan sampai tabib tersebut sampai ke istana. Semua tindakan dan upaya diserahkan kepada Jalak Suta.

Tak perlu lama karena Jalak Suta beserta pasukan khusus nya memang tinggal di barak yang disediakan disekitar tempat tinggal selir raja. Mereka tidak berpakaian resmi dan bagaikan masyarakat umum, Kuda mereka juga menggunakan kuda yang bukan digunakan keseharian dalam tugas. Kuda prajurit berbeda dengan kuda masyarakat umum, rata-rata memiliki pengenal.

Mereka dalam satu kelompok ada sekitar 10 orang, berkuda dengan cepat dan dengan seragam hitam-hitam agar menjadi samar tak dikenal. Tujuannya adalah mendahului rombongan Purgabaya Sadewa. Sementara itu yang didahului baru keluar dari kerajaan, mereka tidak menyadari bahwa akan ada sesuatu yang akan menghadang perjalanan mereka.

Rombongan Jalak Suta tiba dihutan pinggir timur batas kerajaan di tengah hari, hutan itu masih sangat rimbun dan pekat. Tetapi jalur itu tetap ramai dilewati oleh mereka yang sering berdagang antara wilayah barat dan timur. Namun para pedagangs pasti membawa pengawal yang biasanya para pengawal ini rata-rata para pendekar yang tergabung dalam suatu usaha pengawalan. Jika tidak dikawal, begal dan rampok selalu beroperasi di hutan tersebut sehingga mau tidak mau para pedagang menyewa usaha pengawalan demi keamanan baarng dagangan mereka.

Bukan nya para begal itu tidak tahu akan kedatangan serombongan orang-orang yang tak dikenal. Mata-mata begal yang berjaga di hutan tersebut melihat bahwa yang datang ini bukan orang-orang biasa dan dilihat dari persenjataan yang dibawa serta ketangkasan dalam gerak mereka. Sehingga mata-mata begal tak berani memberi tanda memanggil teman-temannya, justru mereka malah meninggalkan hutan itu.  Hawa pembunuhan lah yang mereka rasakan dan mereka pun tak ingin membuang nyawa secara percuma bentrok dengan orang-orang tak dikenal itu.

Sementara rombongan Sadewa baru dapat melewati hutan tersebut ketika matahari telah bergeser ke arah barat. Mereka memasuki hutan dan melewati semak yang masih rapat dengan tanpa gangguan, tiada rasa khawatir karena biasa nya para begal akan berrpikir jauh untuk berhadapan dengan para prajurit. Namun mereka tidak menduga bahwa ada 10 pasang mata yang mengawasi dengan seksama, kali ini bukan begal tetapi orang-orang terrpilih yang biasa bertugas secara samar, mereka telik sandi yang memiliki tugas yang juga khusus. Ini lah yang disebut dengan kepentingan politik dari elit politik kerajaan, yang mana dalam satu kesatuan pun dapat terjadi pertikaian.

Jalak Suta telah memerintahkan untuk tidak mengganggu rombongan Purgabaya Sadewa saat melintasi hutan untuk menjemput sang tabib. Namun sekembalinya rombongan itu akan di cegat. Apapun yang terjadi si tabib tidak boleh sampai ke Kerajaan dan sebagai rencana cadangan ada Kidang Tangkas yang juga bersiap dengan racunnya jika upaya pencegatan gagal.

Desa tempat tinggal tabib itu cukup besar dipinggir hutan dimana para pedagang selalu singgah sebelum melanjutkan perjalanan atau setelah melintasi hutan tersebut. Setelah melewati hutan mereka pun memasuki desa dan dipinggir desa itu rombongan Purgabaya Sadewa telah ditunggu oleh 2 orang prajurit perbatasan. Mereka ada 3 orang termasuk si tabib, sepertinya sudah siap berangkat.

Sinar mentari pun mulai meredup ketika mereka berjumpa, karena mengingat situasi dan kondisi putri Kadita yang semakin memburuk serta esedihan yang mendalam dari sang Raja serta permaisuri mereka pun langsung kembali menuju kerajaan bersama sang tabib.

Tabib ini bernama ki Pandu adalah merupakan saudara seperguruan Ki Pati, berita putri Kadita telah didengarnya dan dia sangat masygul terhadap kejadian ini. Dari ciri yang diderita putri Kadita, dia dapat memperkirakan bahwa itu adalah perbuatan saudara seperguruannya. Rasa welas asih ki Pandu akan pederitaan calon pengganti sang raja lah yang membuatnya terrgerak untuk membantu mengobati putri Kadita,

Ki Pandu lebih banyak berkecimpung membantu masyarakat bawah dengan ikhlas yang berbanding terbalik dengann ki Pati saudara seperguruannya itu.
Sinar bulan mulai menggantikan sinar mentari dan menggelayut di ujung ranting pepohonan hutan saat rombongan memasuki pinggiran hutan.... suara binatang malam biasanya riuh menyambut sang malam, kali ini senyap seolah mereka tahu akan terjadi sebuah kejadian yang tak tercatat dalam sejarah panjang nuswantara amun tercatat dan terkubur dalam lipatan peristiwa menanti dibuka nya kisah ini kembali.

Saat melintasi peertengahan hutan dan sinar bulan sulit menembus rerimbunannya, tiba-tiba terdengan desingan anak gandewa membelah malam dan seketika membuat roboh separoh penunggang kuda rombongan Purgabaya Sadewa... dan dari semak berkelebat bayangan meluruk dan menghantam dengan sabetan pedang...

“Begal.... !” Teriak Purgabaya Sadewa yang langsung mengelak saat kilatan pedang dari Jalak Suta hampir mengenai wajah nya dan terjadilah pertempuran sengit dalam pekatnya malam. Jerit kesakitan tanda orang yang tersabet pedang yang merobek tubuh para prajurit penjemput tabib Ki Pandu membelah malam di hutan.

“Kidang....!” Teriiak Purgabaya Sadewa.

“Purgabaya.. “. Teriak Kidaang Tangkas.

“Mana Ki Pandu ?”

“Tewas tersambar anak gandewa, Purgabaya...”. Jawab Kidang Tangkas.

Purgabaya melihat perlawanan dari penyerang semakin memberi tekanan kuat dan prajurit pengiring nya bukan lah prajurit tempur sudah pupus dua pertiga membuat nya harus membuat keputusan cepat.

“Tinggallkan semua....kembali ke markas”, teriak Purgabaya Sadewa. Tugasnya yang semula berhasil menjadi gagal, dia dan sisa pasukan harus selamat untuk melaporkan kepada sang raja.
Tak perlu menungggu lama, karena tinggal 5 orang termasuk Purgabaya Sadewa dan Kidang Tangkas yang selamat. Mereka menarik diri dari langan pertempuran dan tanpa diduga segera melesat pergi ke arah kerajaan.

“Jangan kejar.!” Teriak pemimpin penyerang yang tak lain adalah Jalak Suta mencegah pasukannya berusaha mengejar Purgabaya Sadewa dan rombongan. Mereka pun berhentii mengejar dan kembali berkumpul memeriksa satu-satu mayat yang bergelimpangan.

“Adakah mayat si tabib ?” Tanya Jalak Suta.

“Disini, taunku... “, ucap salah satu prajurit bawahan Jalak Suta.

Merekapun menuju tempat dibawah pohon besar dipinggir jalan hutan, tampak seorang lelaki tua berbaju krem tua dengan membawa tas obat-obatan bersandar dipohon itu dan di dadanya tertancap anak gandewa.

Jalak Suta mendekat dan telunjuknya diulur ke lubang hidung mayat ki Pandu untuk memastikan nafasnya sudah putus... kemudian dia memeriksa urat nadi leher dan dia merasa tidak ada detak nadi Jalak Suta harus dapat memastikan bahwa tugasnya selesai dengan gemilang.

Setelah yakin semua tidak ada yang hidup, Jalak Suta memerintahkan untuk membawa maat itu semua ke dalam hutan yang lebih lebat, disana mereka menguburkan mayat-mayat pasukan dan ki Pandu yang gugur. Selain memastikan aman merekapun tidak ingin jejak yang di tinggalkannya dengan mengubur dalam tanah.

Dini hari, selesailah tugas mereka dan mereka pun pulang dengan perlahantidak sebagaimana saat mereka pergi. Mereka mengganti seragam hitam-hitam dengan pakaian biasa agar tidak terlalu menyolok perhatian.

Apa yang terjadi di Ibukota sekembali nya Purgabaya Sadewa dan apa tindak lanjut Dewi Nawang Sari ? Tunggu kelanjutan kisah berikutnya.... Sementara ia berpacu dengan waktu akan kedatangan Raden Kian Santang


Minggu, 27 April 2014

SERI KISAH BUNIAN : KERAJAAN BAWAH AIR / HIKAYAT KANJENG RATU (SERI IV)

RACUN ANGIN



Udara di subuh hari itu terasa menggigit tulang, kabut pun masih tebal menghalangi pandangan untuk melihat lebih jauh. Bagi yang lelap semakin nyenyak tidur, bagi yang sudah terbangun paling banyak masih melamun atau dengan pikiran yang masih diliputi oleh kantuk. Tetapi di ujung jalan kerajaan tampak 5 ekor kuda berjalan tidak tampak tergesa-gesa, namun begitu memasuki bulak-bulak yang menghampar memanjang sejauh mata memandang membuat para penunggang kuda itu mulai memacu kendaraannya.

Siapakah mereka ? Tentunya dapat diduga, mereka adalah puragabaya Jalak Suta beserta 4 orang prajurit telik sandi bawahannya yang diantara nya adalah 2 orang prajurit sandi Suraji dan temannya yang memberikan informasi mengenai adanya dukun teluh yang terkenal ampuh dari negeri tetangga. Walau perjalanan cukup jauh, tapi tugas yang diemban mereka juga sangat menentukan. Beberapa kota besar dilewati, namun mereka singgah hanya sebentar hanya untuk sekedar makan dan minum.

Matahari telah memancarkan sinar nya di pagi hari. Puragabaya Jalak Suta dan rombongan telah sampai di mulut dusun tempat tinggal nya Ki Pati. Wajah mereka terlihat lusuh dan letih, kuda tunggangan pun sudah seperti para penunggangnya. Dari mulut dusun mereka sudah berkuda dengan santai seolah tidak ingin terlihat mencolok bagi penduduk didusun itu. Saat melintas disebuah aliran sungai yang jernih, mereka berhenti sejenak untuk bebersih diri agar kembali segar sekalian memberi minum kuda mereka yang sudah kepayahan dipaksa terus berjalan.

Sungai di dusun itu jernih sekali air nya dan bersumber dari gunung, arusnya pun tidak deras dan juga tidak dalam. Namun ada jembatan untuk penduduk setempat melintasinya. Jalak suta bersama teman-temannya menambatkan kuda mereka di pepohonan pinggir sungai, agar kuda mereka dapat ikut melepasa dahaga. Sementara mereka mencuci muka dan membasahkan badan, tidak sampai mandi hanya membersihkan tubuh mereka dari debu dan keringat selama perjalanan jauh.

Hanya setengah jam saja mereka beristirahat dan mereka sudah bersiap untuk masuk dusun, dari jalan arah dusun terlihat seorang penduduk berjalan sambil menuntun kerbau nya dan melintasi Jalak Suta. Orang itu berumur 50 tahunan dengan ciri khas orang dusun dan terlihat ramah. Ia mengangguk dan tersenyum saat melihat beberapa orang asing didusun nya, ia tidak heran jika didusunnya sering datang orang asing karena mereka biasanya pasti berkunjung ketempat Ki Pati untuk memohon bantuan.

Jalak Suta juga membalas anggukkan dan senyuman bapak tua itu dan ia pun kemudian bertanya.

“Maaf, Ki... kami dari jauh. Apakah betul ini dusun tempat tinggal nya Ki Pati ?”

Bapak tua itu kemudian menarik tali yang mengikat kerbaunya dan berhenti, “benar kisanak, apakah kisanak semua akan berkunjung kerumah Ki Pati?”

“Benar, Ki... arah mana menuju kediaman Ki Pati ?” Tanya Jalak Suta.

“Ikut saja, jalan ini kisanak,” tangan bapak tua itu menunjuk arah selatan dengan jempolnya. 

“Sampai diujung jalan ada sebuah rumah dengan banyak pohon mangga, itulah kediaman Ki Pati”.

“Terima kasih, Ki...”. Jalak Suta kemudian mengambil sesuatu dari kantong uang nya dan memberikan beberapa kepeng kepada bapak yang ditemui nya itu. Wajah penggembala kerbau itu pun tersenyum lebar, jarang ia diberi uang oleh tamu yang berkunjung ketempat Ki Pati. Kali ini hari baik baginya bertemu dengan orang yang dermawan.

“Oh, terima kasih, kisanak. Sampai harus memberi segala....”.
“Rejeki, Ki.... kami permisi dahulu untuk segera menemui Ki Pati..”, ucap Jalak Suta dan mereka pun menaiki kuda nya masing-masing yang juga sudah mulai terlihat segar. 

Mereka pun meninggalkan bapak tua yang melambaikan tangan, senang hatinya. Ia baru membalikkan badannya dan menarik tali kerbaunya kembali manakala rombongan berkuda itu telah jauh.

Uang pemberian tamu nya disimpan dalam kantong kecil dilipatan celananya, betapa senang istri dan kelima anak nya nanti saat ia pulang kerumah dan memperlihatkan uang pemberian tamu Ki Pati. Bapak tua ini dan keluarga nya sangat jarang memegang uang, biasanya hanya mereka yang memiliki harta, kebun atau sawah yang disewakan saja dapat memiliki uang. Rakyat kecil biasa nya masih mengandalkan saling tukar menukar hasil kebun atau sawah dengan kebutuhan hidup lainnya.

Sementara, setelah mendapat informasi dari penduduk dusun, Jalak Suta akhir nya mendapatkan sebuah rumah sebagaimana yang telah disampaikan kepadanya. Sebuah rumah yang asri dan dengan halaman yang tertata rapi, walau rumahnya tidak besar dan sederhana namun terasa enak dipandang mata. Suasana pagi itu pun masih sepi, namun ayam–ayam peliharaan tuan rumah sudah berkeliaran mencari makan. Seorang wanita tua sedang menyapu teras rumah kala Jalak Suta mulai memasuki halaman rumah nya. Ia berhenti untuk melihat dengan jelas siapa tamu yang baru datang.

Di pojok kiri rumah itu ada sebuah pohon dan tempat menambatkan kuda, Jalak Suta dan anak buahnya mengarahkan kuda mereka kesana dan kemudian turun untuk menambatkan. Seorang anak muda yang berusia tanggung menghampiri mereka.

“Selamat datang, raden.... biar saya yang mengurus mereka,” Ujar anak muda itu menunduk hormat kepada tamu yang baru datang.
Jalak Suta mengangguk dan memberikan kendali kuda nya ke anak muda itu dan diikuti para anak buahnya juga. Mereka kemudian berjalan menuju ke rumah  Ki Pati.

Mereka berhenti didepan teras dimana wanita tua itu berhenti menyapu dan dari tadi memperhatikan tamunya. Dia belum merasa pernah bertemu dengan tamu yang baru datang ini, sepertinya dari tempat yang jauh. Terlihat dari pakaian dan cara mereka berbicara dengan putra nya sewaktu menambatkan kudanya, tamu nya ini terlihat berbadan tegap dan dialeknya pun terkesan dari wilayah Galuh.

“Selamat pagi, nyai...”, sapa Jalak Suta kepada wanita setengah baya itu.

“Pagi, juga den...,” sahut wanita itu. Kemudian lanjutnya, “apa yang bisa kami bantu ?”.

Dari dalam rumah terdengar suara terbatuk-batuk... suara seorang lelaki, Jalak Suta melirik dan dari dalam rumah terdenga sebuah suara.

“Siapa nyai... ?”

“Ada tamu, Ki....”, perempuan tua itu menyahut suara lelaki yang bertanya itu.

“Persilahkan saja mereka masuk, nyai..”.

“Baik, Ki...”, ucap wanita tua itu dan kemudian ia mempersilahkan kelima tamunya itu masuk. Namun yang beranjak masuk hanya 3 orang, sementara yang 2 orang prajurit sandi duduk di lincak teras rumah itu.

Setelah mereka duduk diruang tamu, dari ruang tengah rumah muncul seorang lelaki yang walaupun sudah terlihat rambut yang memutih namun perawakannya masih terlihat segar, sebagaimana orang di pedesaan mereka terbiasa untuk berladang atau bertani sehingga kebugaran mereka tetap terjaga. Dia duduk menemui tamu dan dengan senyum ramah menyalami mereka.

Setelah itu, lelaki yang bernama Ki Pati itu bertanya kepada tamu nya, “darimanakah asal nya kisanak ini semua ?”

“Kami dari Pajajaran, Ki... Saya Jalak Suta dan lainnya adalah pengiring saya dalam perjalanan ini.”, jawab Jalak Suta.
“Ada keperluan apakah kisanak kemari mencari saya dari tempat yang jauh ?”

Kemudian jalak Suta pun menceritakan tujuannya menemui Ki Pati, ia menceritakan perihal keinginan junjungannya itu namun tidak menjelaskan sisi yang sebenarnya posisi yang akan menjadi target Ki Patih. Dia tidak ingin ki Pati batal jika tahu sasaran nya adalah seorang putri raja yang akan menjadi abhiseka di Kerajaan Pajajaran.

Sebelumnya pun Ki Pati pun sudah menduga jika tamu mereka ini adalah para pasukan khusus, dilihat dari perawakan dan gaya mereka menandakan mereka orang-orang yang terlatih. Jika ia menolak membantu mereka, Ki Pati sudah paham konsekwensi nya bahwa bisa saja ia dan seluruh kerabat nya yang tinggal di rumah dihabisi.

Setelah menceritakan tujuannya datang menemui Ki Pati, Jalak Suta kemudian memerintahkan prajurit yang mengiringinya untuk menyerahkan sebuah kotak perhiasan yang berisi kepingan emas. Kotak emas itu diserahkan kepada Jalak Suta dan diberikan lagi ke Ki Pati.

“Ini titipan dari Kanjeng Dewi kepada Ki Pati...”. Mata Ki Pati sejenak berbinar.

“Salam sembah saya untuk Kanjeng Dewi, kisanak.... telah begitu percaya kepada saya”. Ujarnya.

Jalak Suta hanya tersenyum simpul dan bertanya, “saya kira dapatkah dilakukan sesegera mungkin Ki Pati ?”

“Tentu saja, saya akan menyiapkan ubo rampe hari ini dan ber-mesu diri dan pada tengah malam saya sudah siap melaksanakan titah Kanjeng Dewi”, ucap Ki Pati.

Dari ruangan muncul Nyi Pati dan berkata kepada suaminya, “Ki, sarapan pagi sudah disiapkan. Ajak para tamu untuk ke ruang tengah..”.

“Mari, kisanak“, ajak Ki Pati kepada para tamunya sambil bangkit berdiri dan berjalan menuju ruang tengah yang dibatasi oleh selembar kain sebagai pembatas dengan ruang tamu. 

Mendengar ajakan dari tuan rumah, para tamunya pun serentak bangkit berdiri, mereka memang lapar namun sudah terbiasa menahan lapar. Namun, aroma ikan bakar sangat menggoda sehingga dari tadi bayangan ikan segar dan nasi panas sudah terbayang.

Nyi Pati memang pintar memasak atau Jalak Suta dan para prajurit nya yang kelaparan, Nasi dan lauk pauk yang disediakan habis. Lahap sekali mereka menyantap sarapan pagi, sedang Ki Pati walau tak banyak makan namun dalam menghormati tamunya dia tak segera cepat menghabiskan nasi dipiring.. hanya makan secara perlahan sambil tersenyum melihat para tamunya.

“Hmmm... enak sekali, badan kembali segar...”, ucap salah satu prajuritnya Jalak Suta yang bernama Suraji. Yang lain hanya tersenyum melihatnya, sebenarnya wajarlah mereka baru dapat menikmati makanan dengan tidak terburu-buru seperti beberapa hari lalu mengingat tak ada selang waktu istirahat.

Udara pagi yang cerah dan angin segar, sangat membuat mata mereka mengantuk sehabis makan....
Setelah selesai makan dan dibersihkan, mereka tetap duduk tak beranjak, masih mengobrol bercerita tentang kondisi perkampungan tempat Ki Pati tinggal. Namun, orang tua itu paham kondisi tamu nya yang terlihat letih.

“Oh ya, para ki sanak.... , Nyi Pati telah menyiapkan 2 kamar untuk istirahat”. Ucap Ki Pati kepada para tamunya.

“Ki Pati, kami tidak ingin merepotkan...”, ucap jalak Suta.

“Tidak... tidak kisanak..., kamar itu memang dipersiapkan untuk para tamu karena disini tak ada penginapan”.

“Terima kasih, Ki.... jika tidak merepotkan...”.

“Tentu tidak Kisanak ?”

Mereka tidak tidur tetapi membantu persiapan apa yang dibutuhkan Ki Pati dalam lelaku nya nanti malam.
Waktu terus berjalan perlahan, malam pun merangkak naik. Sementara  di Pajajaran kehidupan berjalan sebagaimana hari-hari kemarin, cuaca pun cerah sebagaimana di musim ketiga dimusim kemarau.

Malam pun semakin larut, dipenghujung malam suasana kotaraja bhumi Pajajaran semakin hening setelah aktivitas malam.

Diperaduan sang Permaisuri, Abhiseka Kerajaan Pajajaran Putri Kadita masih belumlah tidur. Seharian ini ia merasa gelisah dengan hati yang tidak tenteram namun tidak tahu apa penyebab kerisauhan hati. Seharian ia tidak keluar kamar. Para emban setia pun ikut merasakan apa yang dirasakan junjungan mereka. Sementara sang Ibunda tidur disisi kamar lainnya.

Sang Putri nampaknya pun lelah setelah malam semakin tinggi, ia berjalan menuju peraduan. Patrem pemberian sang ibunda disisipkan dibalik bajunya sebagai bagian dari dirinya. Ia menganggap itu adalah sebuah pelindung jika terjadi hal yang tidak diinginkan dan dapat menjadi senjata rahasia.

Sang putri akhirnya tertidur.... para emban dan pasukan penjaga setianya turut berlega hati setelah mendapat informasi dari emban pengasuh. Sungguh setia mereka dengan sang putri, karena kebaikan dan welas hati sang putri tidak pernah membeda-bedakan mereka.
Sementara di sebuah desa terpencil, ada kegiatan yang berhubungan dengan Pajajaran. Ki Pati telah ber mesu diri dan sekarang sudah di ruang kerja nya beserta Jalak Suta. Asap dupa memenuhi ruang kerjanya.

Ki Pati terlihat duduk bersila sambil mengucapkan mantra-mantra yang telah didapatnya dari leluhurnya. Sebuah ilmu yang sangat jarang ada duanya, hanya orang-orang yang memiliki kelebihan dan ditempa dengan puasa 40 hari dan diakhiri dengan pati geni dapat memiliki ilmu itu yaitu Racun Angin.

Kekuatan ini tak kasat mata dan itupun hanya diwariskan secara turun-temurun dari keluarga Ki Pati. Kekuatan yang berjalan mengikuti arah angin berhembus dan tidak tampak oleh mata telanjang. Ini merupakan salah satu ilmu pamungkasnya Ki Pati, ia jarang sekali mempergunakan jika tidak terpaksa. Namun ia menyadari yang jadi sasaran ini bukan lah orang sembarangan dan ia tidak mau gagal.

Seperti menembangkan sebuah kidung, mantra racun angin meluncur dari mulut Ki Pati. Jalak Suta tampak serius mengikuti prosesi ritual itu dengan tegang. Selang 1 jam, tampak suasana di ruang kerja mulai terasa perbedaan....

Hawa nya semakin dingin dan mencekam, terasa mistis dan terdengar suara putaran angin diiringi suara-suara yang samar. Ki Pati tetap membaca mantra nya, sementara Jalak Suta beringsut mundur dari duduknya hingga ke salah satu sisi sudit kamar, ia merasa khawatir dan berdebar. Hal ini sepanjang hidupnya belum pernah dialami.

Suara Ki Pati semakin lama meninggi sambil menyebut nama Putri Kadita, sambil merentangkan kedua tangannya kearah samping dan terdengar perintah, “ Pergilah....!! ”. Desiran angin dan suara aneh nan misterius itu sontak hilang dari kamar tersebut.

Peluh membasahi wajah Ki Pati, namun ia tetap serius dalam posisi meditasi. Angin misterius itu sepertinya menuju suatu arah yang telah diperintahkan.... menuju Pajajaran.

Tak perlu lama, singkat waktu putaran angin misterius itu telah sampai di Pajajaran.

“Dharrrr....!!!”

Terdengar ledakan keras saat putaran angin itu akan memasuki peraduan Putri Kadita. Ada kekuatan tak kasat mata yang berusaha menghalanginya masuk peraduan sang putri.

Ki Pati tubuhnya berguncang, ia tetap membaca mantra. Kening nya berkerut seolah dadanya terhimpit oleh sebuah kekuatan tak nampak.... sementara angin misterius itu sempat terpecah namun secepat itu juga dapat muncul kembali berputar.... namun sepertinya dapat menembus pagaran ghaib setelah mendapat bantuan kekuatan dari Ki Pati.

Heran, tak ada yang mendengar suara ledakan yang sangat keras. Para Emban dan prajurit penjaga pun masih belum menyadari, hanya Putri Kadita yang terlonjak kaget. Ia mendengar suara ledakan dan secepat itu juga ia meraba cundrik pusaka nya dan digenggam erat.
Ia merasakan ada suasana aneh dikamar nya ... ada putaran angin dan angin itu menyambar diri nya...

“Dharrr....!!”

Sekali lagi terdengan ledakan keras saat putaran itu menghantam dirinya.... Sang Putri Kadita terpental dari peraduannya..... Pingsan. Sementara Ki Pati pun terlempar dari posisi duduk meditasi sampai terhempas. Dari bibir nya keluar darah segar.

“Ki Pati....!!” Teriak Jalak Suta. Ia bergegas menghampiri orang tua itu dan membantu nya duduk lagi.

“Bagaimana Ki ? Apa yang terjadi ?” Jalak Suta cukup khawatir akan keadaan Ki Pati. 

Khawatir juga upayanya gagal, karena sudah cukup jauh dia berjalan mencari orang yang benar-benar mampu melaksanakan tugas dari Selir Raja.

Ki Pati menyeka darah yang keluar dari bibirnya dan tersenyum kepada Jalak Suta sambil mengangguk.



(BERSAMBUNG)


SERI KISAH BUNIAN : KERAJAAN BAWAH AIR / HIKAYAT KANJENG RATU (SERI IV)

MENDUNG DI LANGIT PAJAJARAN (1) Pagi itu juga, Purgabaya Jalak Suta tak ingin berlama-lama meninggalkan Pajajaran. Tugas y...