Minggu, 27 April 2014

SERI KISAH BUNIAN : KERAJAAN BAWAH AIR / HIKAYAT KANJENG RATU (SERI IV)

RACUN ANGIN



Udara di subuh hari itu terasa menggigit tulang, kabut pun masih tebal menghalangi pandangan untuk melihat lebih jauh. Bagi yang lelap semakin nyenyak tidur, bagi yang sudah terbangun paling banyak masih melamun atau dengan pikiran yang masih diliputi oleh kantuk. Tetapi di ujung jalan kerajaan tampak 5 ekor kuda berjalan tidak tampak tergesa-gesa, namun begitu memasuki bulak-bulak yang menghampar memanjang sejauh mata memandang membuat para penunggang kuda itu mulai memacu kendaraannya.

Siapakah mereka ? Tentunya dapat diduga, mereka adalah puragabaya Jalak Suta beserta 4 orang prajurit telik sandi bawahannya yang diantara nya adalah 2 orang prajurit sandi Suraji dan temannya yang memberikan informasi mengenai adanya dukun teluh yang terkenal ampuh dari negeri tetangga. Walau perjalanan cukup jauh, tapi tugas yang diemban mereka juga sangat menentukan. Beberapa kota besar dilewati, namun mereka singgah hanya sebentar hanya untuk sekedar makan dan minum.

Matahari telah memancarkan sinar nya di pagi hari. Puragabaya Jalak Suta dan rombongan telah sampai di mulut dusun tempat tinggal nya Ki Pati. Wajah mereka terlihat lusuh dan letih, kuda tunggangan pun sudah seperti para penunggangnya. Dari mulut dusun mereka sudah berkuda dengan santai seolah tidak ingin terlihat mencolok bagi penduduk didusun itu. Saat melintas disebuah aliran sungai yang jernih, mereka berhenti sejenak untuk bebersih diri agar kembali segar sekalian memberi minum kuda mereka yang sudah kepayahan dipaksa terus berjalan.

Sungai di dusun itu jernih sekali air nya dan bersumber dari gunung, arusnya pun tidak deras dan juga tidak dalam. Namun ada jembatan untuk penduduk setempat melintasinya. Jalak suta bersama teman-temannya menambatkan kuda mereka di pepohonan pinggir sungai, agar kuda mereka dapat ikut melepasa dahaga. Sementara mereka mencuci muka dan membasahkan badan, tidak sampai mandi hanya membersihkan tubuh mereka dari debu dan keringat selama perjalanan jauh.

Hanya setengah jam saja mereka beristirahat dan mereka sudah bersiap untuk masuk dusun, dari jalan arah dusun terlihat seorang penduduk berjalan sambil menuntun kerbau nya dan melintasi Jalak Suta. Orang itu berumur 50 tahunan dengan ciri khas orang dusun dan terlihat ramah. Ia mengangguk dan tersenyum saat melihat beberapa orang asing didusun nya, ia tidak heran jika didusunnya sering datang orang asing karena mereka biasanya pasti berkunjung ketempat Ki Pati untuk memohon bantuan.

Jalak Suta juga membalas anggukkan dan senyuman bapak tua itu dan ia pun kemudian bertanya.

“Maaf, Ki... kami dari jauh. Apakah betul ini dusun tempat tinggal nya Ki Pati ?”

Bapak tua itu kemudian menarik tali yang mengikat kerbaunya dan berhenti, “benar kisanak, apakah kisanak semua akan berkunjung kerumah Ki Pati?”

“Benar, Ki... arah mana menuju kediaman Ki Pati ?” Tanya Jalak Suta.

“Ikut saja, jalan ini kisanak,” tangan bapak tua itu menunjuk arah selatan dengan jempolnya. 

“Sampai diujung jalan ada sebuah rumah dengan banyak pohon mangga, itulah kediaman Ki Pati”.

“Terima kasih, Ki...”. Jalak Suta kemudian mengambil sesuatu dari kantong uang nya dan memberikan beberapa kepeng kepada bapak yang ditemui nya itu. Wajah penggembala kerbau itu pun tersenyum lebar, jarang ia diberi uang oleh tamu yang berkunjung ketempat Ki Pati. Kali ini hari baik baginya bertemu dengan orang yang dermawan.

“Oh, terima kasih, kisanak. Sampai harus memberi segala....”.
“Rejeki, Ki.... kami permisi dahulu untuk segera menemui Ki Pati..”, ucap Jalak Suta dan mereka pun menaiki kuda nya masing-masing yang juga sudah mulai terlihat segar. 

Mereka pun meninggalkan bapak tua yang melambaikan tangan, senang hatinya. Ia baru membalikkan badannya dan menarik tali kerbaunya kembali manakala rombongan berkuda itu telah jauh.

Uang pemberian tamu nya disimpan dalam kantong kecil dilipatan celananya, betapa senang istri dan kelima anak nya nanti saat ia pulang kerumah dan memperlihatkan uang pemberian tamu Ki Pati. Bapak tua ini dan keluarga nya sangat jarang memegang uang, biasanya hanya mereka yang memiliki harta, kebun atau sawah yang disewakan saja dapat memiliki uang. Rakyat kecil biasa nya masih mengandalkan saling tukar menukar hasil kebun atau sawah dengan kebutuhan hidup lainnya.

Sementara, setelah mendapat informasi dari penduduk dusun, Jalak Suta akhir nya mendapatkan sebuah rumah sebagaimana yang telah disampaikan kepadanya. Sebuah rumah yang asri dan dengan halaman yang tertata rapi, walau rumahnya tidak besar dan sederhana namun terasa enak dipandang mata. Suasana pagi itu pun masih sepi, namun ayam–ayam peliharaan tuan rumah sudah berkeliaran mencari makan. Seorang wanita tua sedang menyapu teras rumah kala Jalak Suta mulai memasuki halaman rumah nya. Ia berhenti untuk melihat dengan jelas siapa tamu yang baru datang.

Di pojok kiri rumah itu ada sebuah pohon dan tempat menambatkan kuda, Jalak Suta dan anak buahnya mengarahkan kuda mereka kesana dan kemudian turun untuk menambatkan. Seorang anak muda yang berusia tanggung menghampiri mereka.

“Selamat datang, raden.... biar saya yang mengurus mereka,” Ujar anak muda itu menunduk hormat kepada tamu yang baru datang.
Jalak Suta mengangguk dan memberikan kendali kuda nya ke anak muda itu dan diikuti para anak buahnya juga. Mereka kemudian berjalan menuju ke rumah  Ki Pati.

Mereka berhenti didepan teras dimana wanita tua itu berhenti menyapu dan dari tadi memperhatikan tamunya. Dia belum merasa pernah bertemu dengan tamu yang baru datang ini, sepertinya dari tempat yang jauh. Terlihat dari pakaian dan cara mereka berbicara dengan putra nya sewaktu menambatkan kudanya, tamu nya ini terlihat berbadan tegap dan dialeknya pun terkesan dari wilayah Galuh.

“Selamat pagi, nyai...”, sapa Jalak Suta kepada wanita setengah baya itu.

“Pagi, juga den...,” sahut wanita itu. Kemudian lanjutnya, “apa yang bisa kami bantu ?”.

Dari dalam rumah terdengar suara terbatuk-batuk... suara seorang lelaki, Jalak Suta melirik dan dari dalam rumah terdenga sebuah suara.

“Siapa nyai... ?”

“Ada tamu, Ki....”, perempuan tua itu menyahut suara lelaki yang bertanya itu.

“Persilahkan saja mereka masuk, nyai..”.

“Baik, Ki...”, ucap wanita tua itu dan kemudian ia mempersilahkan kelima tamunya itu masuk. Namun yang beranjak masuk hanya 3 orang, sementara yang 2 orang prajurit sandi duduk di lincak teras rumah itu.

Setelah mereka duduk diruang tamu, dari ruang tengah rumah muncul seorang lelaki yang walaupun sudah terlihat rambut yang memutih namun perawakannya masih terlihat segar, sebagaimana orang di pedesaan mereka terbiasa untuk berladang atau bertani sehingga kebugaran mereka tetap terjaga. Dia duduk menemui tamu dan dengan senyum ramah menyalami mereka.

Setelah itu, lelaki yang bernama Ki Pati itu bertanya kepada tamu nya, “darimanakah asal nya kisanak ini semua ?”

“Kami dari Pajajaran, Ki... Saya Jalak Suta dan lainnya adalah pengiring saya dalam perjalanan ini.”, jawab Jalak Suta.
“Ada keperluan apakah kisanak kemari mencari saya dari tempat yang jauh ?”

Kemudian jalak Suta pun menceritakan tujuannya menemui Ki Pati, ia menceritakan perihal keinginan junjungannya itu namun tidak menjelaskan sisi yang sebenarnya posisi yang akan menjadi target Ki Patih. Dia tidak ingin ki Pati batal jika tahu sasaran nya adalah seorang putri raja yang akan menjadi abhiseka di Kerajaan Pajajaran.

Sebelumnya pun Ki Pati pun sudah menduga jika tamu mereka ini adalah para pasukan khusus, dilihat dari perawakan dan gaya mereka menandakan mereka orang-orang yang terlatih. Jika ia menolak membantu mereka, Ki Pati sudah paham konsekwensi nya bahwa bisa saja ia dan seluruh kerabat nya yang tinggal di rumah dihabisi.

Setelah menceritakan tujuannya datang menemui Ki Pati, Jalak Suta kemudian memerintahkan prajurit yang mengiringinya untuk menyerahkan sebuah kotak perhiasan yang berisi kepingan emas. Kotak emas itu diserahkan kepada Jalak Suta dan diberikan lagi ke Ki Pati.

“Ini titipan dari Kanjeng Dewi kepada Ki Pati...”. Mata Ki Pati sejenak berbinar.

“Salam sembah saya untuk Kanjeng Dewi, kisanak.... telah begitu percaya kepada saya”. Ujarnya.

Jalak Suta hanya tersenyum simpul dan bertanya, “saya kira dapatkah dilakukan sesegera mungkin Ki Pati ?”

“Tentu saja, saya akan menyiapkan ubo rampe hari ini dan ber-mesu diri dan pada tengah malam saya sudah siap melaksanakan titah Kanjeng Dewi”, ucap Ki Pati.

Dari ruangan muncul Nyi Pati dan berkata kepada suaminya, “Ki, sarapan pagi sudah disiapkan. Ajak para tamu untuk ke ruang tengah..”.

“Mari, kisanak“, ajak Ki Pati kepada para tamunya sambil bangkit berdiri dan berjalan menuju ruang tengah yang dibatasi oleh selembar kain sebagai pembatas dengan ruang tamu. 

Mendengar ajakan dari tuan rumah, para tamunya pun serentak bangkit berdiri, mereka memang lapar namun sudah terbiasa menahan lapar. Namun, aroma ikan bakar sangat menggoda sehingga dari tadi bayangan ikan segar dan nasi panas sudah terbayang.

Nyi Pati memang pintar memasak atau Jalak Suta dan para prajurit nya yang kelaparan, Nasi dan lauk pauk yang disediakan habis. Lahap sekali mereka menyantap sarapan pagi, sedang Ki Pati walau tak banyak makan namun dalam menghormati tamunya dia tak segera cepat menghabiskan nasi dipiring.. hanya makan secara perlahan sambil tersenyum melihat para tamunya.

“Hmmm... enak sekali, badan kembali segar...”, ucap salah satu prajuritnya Jalak Suta yang bernama Suraji. Yang lain hanya tersenyum melihatnya, sebenarnya wajarlah mereka baru dapat menikmati makanan dengan tidak terburu-buru seperti beberapa hari lalu mengingat tak ada selang waktu istirahat.

Udara pagi yang cerah dan angin segar, sangat membuat mata mereka mengantuk sehabis makan....
Setelah selesai makan dan dibersihkan, mereka tetap duduk tak beranjak, masih mengobrol bercerita tentang kondisi perkampungan tempat Ki Pati tinggal. Namun, orang tua itu paham kondisi tamu nya yang terlihat letih.

“Oh ya, para ki sanak.... , Nyi Pati telah menyiapkan 2 kamar untuk istirahat”. Ucap Ki Pati kepada para tamunya.

“Ki Pati, kami tidak ingin merepotkan...”, ucap jalak Suta.

“Tidak... tidak kisanak..., kamar itu memang dipersiapkan untuk para tamu karena disini tak ada penginapan”.

“Terima kasih, Ki.... jika tidak merepotkan...”.

“Tentu tidak Kisanak ?”

Mereka tidak tidur tetapi membantu persiapan apa yang dibutuhkan Ki Pati dalam lelaku nya nanti malam.
Waktu terus berjalan perlahan, malam pun merangkak naik. Sementara  di Pajajaran kehidupan berjalan sebagaimana hari-hari kemarin, cuaca pun cerah sebagaimana di musim ketiga dimusim kemarau.

Malam pun semakin larut, dipenghujung malam suasana kotaraja bhumi Pajajaran semakin hening setelah aktivitas malam.

Diperaduan sang Permaisuri, Abhiseka Kerajaan Pajajaran Putri Kadita masih belumlah tidur. Seharian ini ia merasa gelisah dengan hati yang tidak tenteram namun tidak tahu apa penyebab kerisauhan hati. Seharian ia tidak keluar kamar. Para emban setia pun ikut merasakan apa yang dirasakan junjungan mereka. Sementara sang Ibunda tidur disisi kamar lainnya.

Sang Putri nampaknya pun lelah setelah malam semakin tinggi, ia berjalan menuju peraduan. Patrem pemberian sang ibunda disisipkan dibalik bajunya sebagai bagian dari dirinya. Ia menganggap itu adalah sebuah pelindung jika terjadi hal yang tidak diinginkan dan dapat menjadi senjata rahasia.

Sang putri akhirnya tertidur.... para emban dan pasukan penjaga setianya turut berlega hati setelah mendapat informasi dari emban pengasuh. Sungguh setia mereka dengan sang putri, karena kebaikan dan welas hati sang putri tidak pernah membeda-bedakan mereka.
Sementara di sebuah desa terpencil, ada kegiatan yang berhubungan dengan Pajajaran. Ki Pati telah ber mesu diri dan sekarang sudah di ruang kerja nya beserta Jalak Suta. Asap dupa memenuhi ruang kerjanya.

Ki Pati terlihat duduk bersila sambil mengucapkan mantra-mantra yang telah didapatnya dari leluhurnya. Sebuah ilmu yang sangat jarang ada duanya, hanya orang-orang yang memiliki kelebihan dan ditempa dengan puasa 40 hari dan diakhiri dengan pati geni dapat memiliki ilmu itu yaitu Racun Angin.

Kekuatan ini tak kasat mata dan itupun hanya diwariskan secara turun-temurun dari keluarga Ki Pati. Kekuatan yang berjalan mengikuti arah angin berhembus dan tidak tampak oleh mata telanjang. Ini merupakan salah satu ilmu pamungkasnya Ki Pati, ia jarang sekali mempergunakan jika tidak terpaksa. Namun ia menyadari yang jadi sasaran ini bukan lah orang sembarangan dan ia tidak mau gagal.

Seperti menembangkan sebuah kidung, mantra racun angin meluncur dari mulut Ki Pati. Jalak Suta tampak serius mengikuti prosesi ritual itu dengan tegang. Selang 1 jam, tampak suasana di ruang kerja mulai terasa perbedaan....

Hawa nya semakin dingin dan mencekam, terasa mistis dan terdengar suara putaran angin diiringi suara-suara yang samar. Ki Pati tetap membaca mantra nya, sementara Jalak Suta beringsut mundur dari duduknya hingga ke salah satu sisi sudit kamar, ia merasa khawatir dan berdebar. Hal ini sepanjang hidupnya belum pernah dialami.

Suara Ki Pati semakin lama meninggi sambil menyebut nama Putri Kadita, sambil merentangkan kedua tangannya kearah samping dan terdengar perintah, “ Pergilah....!! ”. Desiran angin dan suara aneh nan misterius itu sontak hilang dari kamar tersebut.

Peluh membasahi wajah Ki Pati, namun ia tetap serius dalam posisi meditasi. Angin misterius itu sepertinya menuju suatu arah yang telah diperintahkan.... menuju Pajajaran.

Tak perlu lama, singkat waktu putaran angin misterius itu telah sampai di Pajajaran.

“Dharrrr....!!!”

Terdengar ledakan keras saat putaran angin itu akan memasuki peraduan Putri Kadita. Ada kekuatan tak kasat mata yang berusaha menghalanginya masuk peraduan sang putri.

Ki Pati tubuhnya berguncang, ia tetap membaca mantra. Kening nya berkerut seolah dadanya terhimpit oleh sebuah kekuatan tak nampak.... sementara angin misterius itu sempat terpecah namun secepat itu juga dapat muncul kembali berputar.... namun sepertinya dapat menembus pagaran ghaib setelah mendapat bantuan kekuatan dari Ki Pati.

Heran, tak ada yang mendengar suara ledakan yang sangat keras. Para Emban dan prajurit penjaga pun masih belum menyadari, hanya Putri Kadita yang terlonjak kaget. Ia mendengar suara ledakan dan secepat itu juga ia meraba cundrik pusaka nya dan digenggam erat.
Ia merasakan ada suasana aneh dikamar nya ... ada putaran angin dan angin itu menyambar diri nya...

“Dharrr....!!”

Sekali lagi terdengan ledakan keras saat putaran itu menghantam dirinya.... Sang Putri Kadita terpental dari peraduannya..... Pingsan. Sementara Ki Pati pun terlempar dari posisi duduk meditasi sampai terhempas. Dari bibir nya keluar darah segar.

“Ki Pati....!!” Teriak Jalak Suta. Ia bergegas menghampiri orang tua itu dan membantu nya duduk lagi.

“Bagaimana Ki ? Apa yang terjadi ?” Jalak Suta cukup khawatir akan keadaan Ki Pati. 

Khawatir juga upayanya gagal, karena sudah cukup jauh dia berjalan mencari orang yang benar-benar mampu melaksanakan tugas dari Selir Raja.

Ki Pati menyeka darah yang keluar dari bibirnya dan tersenyum kepada Jalak Suta sambil mengangguk.



(BERSAMBUNG)


4 komentar:

  1. Akhirnya, yang ditunggu ..keluar juga. Thx

    BalasHapus
  2. Menantikan cerita kelanjutannya, sudah lama sekali..tks

    BalasHapus
  3. Kelanjutanya blum selesai d garap yak...

    BalasHapus
  4. wow cerita yang menarik kak.. ooo iya kak kalau ingin tahu tentang cara membuat web yukk disini saja.. terimakasih

    BalasHapus

SERI KISAH BUNIAN : KERAJAAN BAWAH AIR / HIKAYAT KANJENG RATU (SERI IV)

MENDUNG DI LANGIT PAJAJARAN (1) Pagi itu juga, Purgabaya Jalak Suta tak ingin berlama-lama meninggalkan Pajajaran. Tugas y...