RACUN ANGIN
Udara di
subuh hari itu terasa menggigit tulang, kabut pun masih tebal
menghalangi pandangan untuk melihat lebih jauh. Bagi yang lelap semakin nyenyak
tidur, bagi yang sudah terbangun paling banyak masih melamun atau dengan
pikiran yang masih diliputi oleh kantuk. Tetapi di ujung jalan kerajaan tampak
5 ekor kuda berjalan tidak tampak tergesa-gesa, namun begitu memasuki
bulak-bulak yang menghampar memanjang sejauh mata memandang membuat para
penunggang kuda itu mulai memacu kendaraannya.
Siapakah mereka ? Tentunya dapat
diduga, mereka adalah puragabaya Jalak Suta beserta 4 orang prajurit telik
sandi bawahannya yang diantara nya adalah 2 orang prajurit sandi Suraji dan
temannya yang memberikan informasi mengenai adanya dukun teluh yang terkenal
ampuh dari negeri tetangga. Walau perjalanan cukup jauh, tapi tugas yang
diemban mereka juga sangat menentukan. Beberapa kota besar dilewati, namun mereka
singgah hanya sebentar hanya untuk sekedar makan dan minum.
Matahari telah memancarkan sinar
nya di pagi hari. Puragabaya Jalak Suta dan rombongan telah sampai di mulut
dusun tempat tinggal nya Ki Pati. Wajah mereka terlihat lusuh dan letih, kuda
tunggangan pun sudah seperti para penunggangnya. Dari mulut dusun mereka sudah
berkuda dengan santai seolah tidak ingin terlihat mencolok bagi penduduk
didusun itu. Saat melintas disebuah aliran sungai yang jernih, mereka berhenti
sejenak untuk bebersih diri agar kembali segar sekalian memberi minum kuda
mereka yang sudah kepayahan dipaksa terus berjalan.
Sungai di dusun itu jernih sekali
air nya dan bersumber dari gunung, arusnya pun tidak deras dan juga tidak
dalam. Namun ada jembatan untuk penduduk setempat melintasinya. Jalak suta
bersama teman-temannya menambatkan kuda mereka di pepohonan pinggir sungai,
agar kuda mereka dapat ikut melepasa dahaga. Sementara mereka mencuci muka dan
membasahkan badan, tidak sampai mandi hanya membersihkan tubuh mereka dari debu
dan keringat selama perjalanan jauh.
Hanya setengah jam saja mereka
beristirahat dan mereka sudah bersiap untuk masuk dusun, dari jalan arah dusun
terlihat seorang penduduk berjalan sambil menuntun kerbau nya dan melintasi
Jalak Suta. Orang itu berumur 50 tahunan dengan ciri khas orang dusun dan
terlihat ramah. Ia mengangguk dan tersenyum saat melihat beberapa orang asing
didusun nya, ia tidak heran jika didusunnya sering datang orang asing karena
mereka biasanya pasti berkunjung ketempat Ki Pati untuk memohon bantuan.
Jalak Suta juga membalas
anggukkan dan senyuman bapak tua itu dan ia pun kemudian bertanya.
“Maaf, Ki... kami dari jauh.
Apakah betul ini dusun tempat tinggal nya Ki Pati ?”
Bapak tua itu kemudian menarik
tali yang mengikat kerbaunya dan berhenti, “benar kisanak, apakah kisanak semua
akan berkunjung kerumah Ki Pati?”
“Benar, Ki... arah mana menuju
kediaman Ki Pati ?” Tanya Jalak Suta.
“Ikut saja, jalan ini kisanak,”
tangan bapak tua itu menunjuk arah selatan dengan jempolnya.
“Sampai diujung
jalan ada sebuah rumah dengan banyak pohon mangga, itulah kediaman Ki Pati”.
“Terima kasih, Ki...”. Jalak Suta
kemudian mengambil sesuatu dari kantong uang nya dan memberikan beberapa kepeng
kepada bapak yang ditemui nya itu. Wajah penggembala kerbau itu pun tersenyum
lebar, jarang ia diberi uang oleh tamu yang berkunjung ketempat Ki Pati. Kali
ini hari baik baginya bertemu dengan orang yang dermawan.
“Oh, terima kasih, kisanak.
Sampai harus memberi segala....”.
“Rejeki, Ki.... kami permisi
dahulu untuk segera menemui Ki Pati..”, ucap Jalak Suta dan mereka pun menaiki
kuda nya masing-masing yang juga sudah mulai terlihat segar.
Mereka pun
meninggalkan bapak tua yang melambaikan tangan, senang hatinya. Ia baru
membalikkan badannya dan menarik tali kerbaunya kembali manakala rombongan
berkuda itu telah jauh.
Uang pemberian tamu nya disimpan
dalam kantong kecil dilipatan celananya, betapa senang istri dan kelima anak
nya nanti saat ia pulang kerumah dan memperlihatkan uang pemberian tamu Ki
Pati. Bapak tua ini dan keluarga nya sangat jarang memegang uang, biasanya
hanya mereka yang memiliki harta, kebun atau sawah yang disewakan saja dapat
memiliki uang. Rakyat kecil biasa nya masih mengandalkan saling tukar menukar
hasil kebun atau sawah dengan kebutuhan hidup lainnya.
Sementara, setelah mendapat
informasi dari penduduk dusun, Jalak Suta akhir nya mendapatkan sebuah rumah
sebagaimana yang telah disampaikan kepadanya. Sebuah rumah yang asri dan dengan
halaman yang tertata rapi, walau rumahnya tidak besar dan sederhana namun
terasa enak dipandang mata. Suasana pagi itu pun masih sepi, namun ayam–ayam
peliharaan tuan rumah sudah berkeliaran mencari makan. Seorang wanita tua
sedang menyapu teras rumah kala Jalak Suta mulai memasuki halaman rumah nya. Ia
berhenti untuk melihat dengan jelas siapa tamu yang baru datang.
Di pojok kiri rumah itu ada
sebuah pohon dan tempat menambatkan kuda, Jalak Suta dan anak buahnya
mengarahkan kuda mereka kesana dan kemudian turun untuk menambatkan. Seorang
anak muda yang berusia tanggung menghampiri mereka.
“Selamat datang, raden.... biar
saya yang mengurus mereka,” Ujar anak muda itu menunduk hormat kepada tamu yang
baru datang.
Jalak Suta mengangguk dan
memberikan kendali kuda nya ke anak muda itu dan diikuti para anak buahnya
juga. Mereka kemudian berjalan menuju ke rumah
Ki Pati.
Mereka berhenti didepan teras
dimana wanita tua itu berhenti menyapu dan dari tadi memperhatikan tamunya. Dia
belum merasa pernah bertemu dengan tamu yang baru datang ini, sepertinya dari
tempat yang jauh. Terlihat dari pakaian dan cara mereka berbicara dengan putra
nya sewaktu menambatkan kudanya, tamu nya ini terlihat berbadan tegap dan
dialeknya pun terkesan dari wilayah Galuh.
“Selamat pagi, nyai...”, sapa
Jalak Suta kepada wanita setengah baya itu.
“Pagi, juga den...,” sahut wanita
itu. Kemudian lanjutnya, “apa yang bisa kami bantu ?”.
Dari dalam rumah terdengar suara
terbatuk-batuk... suara seorang lelaki, Jalak Suta melirik dan dari dalam rumah
terdenga sebuah suara.
“Siapa nyai... ?”
“Ada tamu, Ki....”, perempuan tua
itu menyahut suara lelaki yang bertanya itu.
“Persilahkan saja mereka masuk,
nyai..”.
“Baik, Ki...”, ucap wanita tua
itu dan kemudian ia mempersilahkan kelima tamunya itu masuk. Namun yang
beranjak masuk hanya 3 orang, sementara yang 2 orang prajurit sandi duduk di
lincak teras rumah itu.
Setelah mereka duduk diruang
tamu, dari ruang tengah rumah muncul seorang lelaki yang walaupun sudah
terlihat rambut yang memutih namun perawakannya masih terlihat segar,
sebagaimana orang di pedesaan mereka terbiasa untuk berladang atau bertani
sehingga kebugaran mereka tetap terjaga. Dia duduk menemui tamu dan dengan
senyum ramah menyalami mereka.
Setelah itu, lelaki yang bernama
Ki Pati itu bertanya kepada tamu nya, “darimanakah asal nya kisanak ini semua
?”
“Kami dari Pajajaran, Ki... Saya
Jalak Suta dan lainnya adalah pengiring saya dalam perjalanan ini.”, jawab
Jalak Suta.
“Ada keperluan apakah kisanak
kemari mencari saya dari tempat yang jauh ?”
Kemudian jalak Suta pun
menceritakan tujuannya menemui Ki Pati, ia menceritakan perihal keinginan
junjungannya itu namun tidak menjelaskan sisi yang sebenarnya posisi yang akan
menjadi target Ki Patih. Dia tidak ingin ki Pati batal jika tahu sasaran nya
adalah seorang putri raja yang akan menjadi abhiseka di Kerajaan Pajajaran.
Sebelumnya pun Ki Pati pun sudah
menduga jika tamu mereka ini adalah para pasukan khusus, dilihat dari perawakan
dan gaya mereka menandakan mereka orang-orang yang terlatih. Jika ia menolak
membantu mereka, Ki Pati sudah paham konsekwensi nya bahwa bisa saja ia dan
seluruh kerabat nya yang
tinggal di rumah dihabisi.
Setelah menceritakan tujuannya
datang menemui Ki Pati, Jalak Suta kemudian memerintahkan prajurit yang
mengiringinya untuk menyerahkan sebuah kotak perhiasan yang berisi kepingan
emas. Kotak emas itu diserahkan kepada Jalak Suta dan diberikan lagi ke Ki
Pati.
“Ini titipan dari Kanjeng Dewi kepada
Ki Pati...”. Mata Ki Pati sejenak berbinar.
“Salam sembah saya untuk Kanjeng
Dewi, kisanak.... telah begitu percaya kepada saya”. Ujarnya.
Jalak Suta hanya tersenyum simpul dan bertanya, “saya
kira dapatkah dilakukan sesegera mungkin Ki Pati ?”
“Tentu saja, saya akan menyiapkan
ubo rampe hari ini dan ber-mesu diri dan pada tengah malam saya sudah siap
melaksanakan titah Kanjeng Dewi”, ucap Ki Pati.
Dari ruangan muncul Nyi Pati dan
berkata kepada suaminya, “Ki, sarapan pagi sudah disiapkan. Ajak para tamu
untuk ke ruang tengah..”.
“Mari, kisanak“, ajak Ki Pati kepada para
tamunya sambil bangkit berdiri dan berjalan menuju ruang tengah yang dibatasi
oleh selembar kain sebagai pembatas dengan ruang tamu.
Mendengar ajakan dari
tuan rumah, para tamunya pun serentak bangkit berdiri, mereka memang lapar
namun sudah terbiasa menahan lapar. Namun, aroma ikan bakar sangat menggoda
sehingga dari tadi bayangan ikan segar dan nasi panas sudah terbayang.
Nyi Pati memang pintar memasak
atau Jalak Suta dan para prajurit nya yang kelaparan, Nasi dan lauk pauk yang
disediakan habis. Lahap sekali mereka menyantap sarapan pagi, sedang Ki Pati
walau tak banyak makan namun dalam menghormati tamunya dia tak segera cepat
menghabiskan nasi dipiring.. hanya makan secara perlahan sambil tersenyum melihat
para tamunya.
“Hmmm... enak sekali, badan
kembali segar...”, ucap salah satu prajuritnya Jalak Suta yang bernama Suraji.
Yang lain hanya tersenyum melihatnya, sebenarnya wajarlah mereka baru dapat
menikmati makanan dengan tidak terburu-buru seperti beberapa hari lalu
mengingat tak ada selang waktu istirahat.
Udara pagi yang cerah dan angin
segar, sangat membuat mata mereka mengantuk sehabis makan....
Setelah selesai makan dan
dibersihkan, mereka tetap duduk tak beranjak, masih mengobrol bercerita tentang
kondisi perkampungan tempat Ki Pati tinggal. Namun, orang tua itu paham kondisi
tamu nya yang terlihat letih.
“Oh ya, para ki sanak.... , Nyi
Pati telah menyiapkan 2 kamar untuk istirahat”. Ucap Ki Pati kepada para
tamunya.
“Ki Pati, kami tidak ingin merepotkan...”,
ucap jalak Suta.
“Tidak... tidak kisanak..., kamar
itu memang dipersiapkan untuk para tamu karena disini tak ada penginapan”.
“Terima kasih, Ki.... jika tidak
merepotkan...”.
“Tentu tidak Kisanak ?”
Mereka tidak tidur tetapi
membantu persiapan apa yang dibutuhkan Ki Pati dalam lelaku nya nanti malam.
Waktu terus berjalan perlahan,
malam pun merangkak naik. Sementara di
Pajajaran kehidupan berjalan sebagaimana hari-hari kemarin, cuaca pun cerah
sebagaimana di musim ketiga dimusim kemarau.
Malam pun semakin larut,
dipenghujung malam suasana kotaraja bhumi Pajajaran semakin hening setelah
aktivitas malam.
Diperaduan sang Permaisuri, Abhiseka
Kerajaan Pajajaran Putri Kadita masih belumlah tidur. Seharian ini ia merasa
gelisah dengan hati yang tidak tenteram namun tidak tahu apa penyebab
kerisauhan hati. Seharian ia tidak keluar kamar. Para emban setia pun ikut
merasakan apa yang dirasakan junjungan mereka. Sementara sang Ibunda tidur
disisi kamar lainnya.
Sang Putri nampaknya pun lelah
setelah malam semakin tinggi, ia berjalan menuju peraduan. Patrem pemberian
sang ibunda disisipkan dibalik bajunya sebagai bagian dari dirinya. Ia
menganggap itu adalah sebuah pelindung jika terjadi hal yang tidak diinginkan
dan dapat menjadi senjata rahasia.
Sang putri akhirnya tertidur....
para emban dan pasukan penjaga setianya turut berlega hati setelah mendapat
informasi dari emban pengasuh. Sungguh setia mereka dengan sang putri, karena
kebaikan dan welas hati sang putri tidak pernah membeda-bedakan mereka.
Sementara di sebuah desa
terpencil, ada kegiatan yang berhubungan dengan Pajajaran. Ki Pati telah ber
mesu diri dan sekarang sudah di ruang kerja nya beserta Jalak Suta. Asap dupa
memenuhi ruang kerjanya.
Ki Pati terlihat duduk bersila
sambil mengucapkan mantra-mantra yang telah didapatnya dari leluhurnya. Sebuah
ilmu yang sangat jarang ada duanya, hanya orang-orang yang memiliki kelebihan
dan ditempa dengan puasa 40 hari dan diakhiri dengan pati geni dapat memiliki
ilmu itu yaitu Racun Angin.
Kekuatan ini tak kasat mata dan
itupun hanya diwariskan secara turun-temurun dari keluarga Ki Pati. Kekuatan
yang berjalan mengikuti arah angin berhembus dan tidak tampak oleh mata
telanjang. Ini merupakan salah satu ilmu pamungkasnya Ki Pati, ia jarang sekali
mempergunakan jika tidak terpaksa. Namun ia menyadari yang jadi sasaran ini
bukan lah orang sembarangan dan ia tidak mau gagal.
Seperti menembangkan sebuah
kidung, mantra racun angin meluncur dari mulut Ki Pati. Jalak Suta tampak
serius mengikuti prosesi ritual itu dengan tegang. Selang 1 jam, tampak suasana
di ruang kerja mulai terasa perbedaan....
Hawa nya semakin dingin dan
mencekam, terasa mistis dan terdengar suara putaran angin diiringi suara-suara
yang samar. Ki Pati tetap membaca mantra nya, sementara Jalak Suta beringsut
mundur dari duduknya hingga ke salah satu sisi sudit kamar, ia merasa khawatir
dan berdebar. Hal ini sepanjang hidupnya belum pernah dialami.
Suara Ki Pati semakin lama
meninggi sambil menyebut nama Putri Kadita, sambil merentangkan kedua tangannya
kearah samping dan terdengar perintah, “ Pergilah....!! ”. Desiran angin dan
suara aneh nan misterius itu sontak hilang dari kamar tersebut.
Peluh membasahi wajah Ki Pati,
namun ia tetap serius dalam posisi meditasi. Angin misterius itu sepertinya
menuju suatu arah yang telah diperintahkan.... menuju Pajajaran.
Tak perlu lama, singkat waktu
putaran angin misterius itu telah sampai di Pajajaran.
“Dharrrr....!!!”
Terdengar ledakan keras saat putaran
angin itu akan memasuki peraduan Putri Kadita. Ada kekuatan tak kasat mata yang
berusaha menghalanginya masuk peraduan sang putri.
Ki Pati tubuhnya berguncang, ia
tetap membaca mantra. Kening nya berkerut seolah dadanya terhimpit oleh sebuah
kekuatan tak nampak.... sementara angin misterius itu sempat terpecah namun
secepat itu juga dapat muncul kembali berputar.... namun sepertinya dapat
menembus pagaran ghaib setelah mendapat bantuan kekuatan dari Ki Pati.
Heran, tak ada yang mendengar
suara ledakan yang sangat keras. Para Emban dan prajurit penjaga pun masih
belum menyadari, hanya Putri Kadita yang terlonjak kaget. Ia mendengar suara
ledakan dan secepat itu juga ia meraba cundrik pusaka nya dan digenggam erat.
Ia merasakan ada suasana aneh
dikamar nya ... ada putaran angin dan angin itu menyambar diri nya...
“Dharrr....!!”
Sekali lagi terdengan ledakan keras saat putaran itu menghantam dirinya.... Sang Putri Kadita terpental dari
peraduannya..... Pingsan. Sementara Ki Pati pun terlempar dari posisi duduk
meditasi sampai terhempas. Dari bibir nya keluar darah segar.
“Ki Pati....!!” Teriak Jalak
Suta. Ia bergegas menghampiri orang tua itu dan membantu nya duduk lagi.
“Bagaimana Ki ? Apa yang terjadi
?” Jalak Suta cukup khawatir akan keadaan Ki Pati.
Khawatir juga upayanya
gagal, karena sudah cukup jauh dia berjalan mencari orang yang benar-benar
mampu melaksanakan tugas dari Selir Raja.
Ki Pati menyeka darah yang keluar dari bibirnya dan tersenyum kepada Jalak Suta sambil mengangguk.
(BERSAMBUNG)