MENDUNG DI LANGIT PAJAJARAN
(1)
(1)
Pagi itu juga, Purgabaya Jalak
Suta tak ingin berlama-lama meninggalkan Pajajaran. Tugas yang diembannya telah
tercapai dan ia pun ingin segera mengetahui sampai sejauh mana upaya yang
menjadi tanggungjawabnya berhasil. Namun sebelum berangkat, ia telah dititipkan
sebuah racun yang sangat kuat hasil olah kemampuannya selama menggeluti dunia
racun oleh ki Pati yang tiada dua nya
dan bahkan dia sendiri belum memiliki penawarnya. Perjalanan pulang Purgabaya
Jalak Suta beserta rombongan sangat berbeda dibandingkan saat pergi, lebih
cepat rasanya dari sebelum menuju tempat Ki Pati.
Namun sementara itu di Pajajaran
menjadi heboh, di peraduan Sang Permaisuri sudah ramai berkumpul para emban dan
pengawal. Sang Abhiseka tampak berada diatas tempat tidur masih belum sadarkan
diri, sang ibunda nya pun tampak sesegukan menangis melihat sang putri
kesayanganyadalam lara yang pedih.
Apakah yang terjadi ? Mengapa
sedemikian jahatnya perlakuan entah siapa itu hingga membuat putri
kesayangannya tak sadarkan diri dan ada rasa sakit yang menusuk hati adalah
sekujur tubuh putrinya itu bagaikan hangus terbakar. Kulit nya melepuh hingga
sampai ke wajah.... oh, gusti... jerit hatinya... kenapa begitu berat apa yang
dialami putrinya ini. Kenapa tidak ditimpakan semua kepada dirinya, yang
meninggalkan kahyangan demi kasihnya dan betapa pun berat kehidupan sebagai
manusia biasa.... mampu ia jalani. Namun ini.... sungguh diluar batas
kesabarannya sebagai manusia. Begitulah kemelut hati ibu putri Kadhita semakin
membuncah dan air mata tak henti menetes manakala melihat kondisi putrinya.
Sementara, di kamar tersebut
telah hadir sang Raja dengan tergopoh-gopoh datang setelah salah seorang emban
sang Ratu mengabari bahwa ada kejadian aneh di peraduan sang permaisuri yang
mengakibatkan Abhiseka Pajajaran itu terluka parah.
“Duh, Gusti... apa yang terjadi,
kenapa bisa begini ?” Tanya sang Raja, semua terdiam, hanya terdengar sesegukan
tangis istrinya.
“Panggilkan tabib istana
seegera...!” Wajah nya terlihat gusar dan sangat marah diusianya yang semakin
senja.
“Sudah dipanggil Tuanku...”, ucap
seorang Purgabaya yang bertanggung jawab keamanan di wilayah kediaman tersebut.
Ia kemudian mengikuti sang Raja duduk dipinggir tempat tidur, kemudian
menceritakan kejadian yang menimpa putri Kadhita yang ia dapatkan dari
Permaisuri menjadi sebuah laporan.
Tabib istana yang dipanggil sudah
memasuki kamar dan langsung mendekati tempat tidur, ia mendapat penjelasan
sebagaimana yang diceritakan oleh Purgabaya jaga tersebut. Ia kemudian
mengambil perbekalan dan mengeluarkan sebuah salep luka dan dengan kuas bulu
salep tersebut di usapkan ke kulit putri Kadhita dibantu emban sang permaisuri
untuk bagian yang terlarang dilihat oleh lelaki. Kemudian sang tabib membuat
obat dalam, namun sebelum itu ia menciumkan botol kecil ke hidung sang putri
yang membuatnya menjadi terbangun dan merintih kesakitan.
“Ibunda.....”, rintih sang putri.
“Apa yang terjadi pada diri ku ?” Ibunda nya hanya dapat menangis sambil
memegang tangan putri nya. “Tubuh ananda perih dan sakit....panas sekali...”,
keluhnya.
Sang Raja yang perkasa pun tak
mampu menahan air mata, letupan amarah menggelegak dalam dada. Namun itu malah
membuat linangan air mata nya jatuh berderai. Kegagahannya luluh oleh tangis
seorang ayah yang melihat penderitaan calon pengganti nya. Ada rasa sesal
memilih putrinya menjadi pengganti dirinya sehingga menyebabkan putri Kadhita
menjadi sasaran pembunuhan yang telah dilakukan berkali-kali oleh orang yang
tidak menyetujui.
Kondisi putri Kadhita sendiri
sekujur tubuhnya melepuh seperti terpanggang api atau seperti terkena awan
panas... 80% luka bakar. Sungguh dahsyat serangan yang dilakukan oleh Ki Pati
dari jarak yang sangat jauh dan walau tidak dapat mengenai secara langsung
namun efek nya saja sungguh sangat mengerikan.... Jika bukan putri Kadhita,
tentu jiwa nya akan segera menemui sang Dewa Yamadipati saat itu juga.
Kerabat dekat kerajaan semua
berkumpul di ruangan dimana putri Kadhita mendapat perawatan dan penjagaan
super ketat dibanding biasa nya. Semua menunjukkan empati apa yang dialami sang
putri atas kejadian yang dengan keji menimpa sang Abhiseka. Termasuk Dewi
Nawang Sari pun hadir, juga Mpu Tunggah yang ikut berbela duka atas kejadian
tersebut.
Tetapi tak seorangpun tahu bahwa
itu semua adalah atas ulah Dewi Nawang Sari yang di amini oleh sang penasihat spiritual raja, Mpu Tunggah.
Sepulang nya dari tempat putri
Kadita, mereka bersepakat akan hadir 2 hari kemudian di tempat Mpu Tunggah,
sekalian menerima kedatangan puragabaya Jalak Suta dari tugas rahasia nya.
Hari-hari berlalu, Pajajaran
dalam kesedihan. Berita tentang kejadian yang dialami putri Kadita menyebar
diseantero negeri bahkan negeri-negeri tetangga. Sungguh cepat sekali berita
tersebut beredar, apalagi sang putri adalah seorang gadis yang rupawan tentu
lah menjadi perhatian semua orang. Semuanya berduka atas kejadian yang menimpa
sang putri Kadita.
Sudah 2 hari kejadian berselang,
namun tubuh putri Kadita tak semakin membaik. Dari luka-luka yang diderita nya
semakin parah dan keluarlah nanah yang menyebabkan tercium bau busuk. Selain sakit
sekujur tubuh nya putri Kadita pun terasa teriris hati dan jiwa nya melihat
kondisinya yang menjijikkan, obat-obatan yang diberikan tabib istana tidak
membuatnya semakin baik. Hal ini mungkin karena racun angin yang dikirim
seseorang untuk membunuh dirinya.
Sementara itu dikediaman Mpu
Tunggah telah tiba Puragabaya Jalak Suta beserta rombongan yang disambut oleh
tuan rumah dan juga Dewi Nawang Sari.Jalak Suta langsung mengadakan pertemuan
tertutup dan rombongan lainnya beristirahat di gandok.
Setelah menghirup wedang jahe
panas, Jalak Suta menceritakan pertemuannya dengan Ki Pati. Mpu Tunggah dan
Dewi Nawang Sari mendengarkan dengan seksama dan tidak melewatkan satu katapun.
Termasuk bubuk racun yang diberikan Ki Pati kepadanya, sebagai jaga-jaga jika diperlukan
untuk mensukseskan tujuan mereka.
“Baik lah Jalak Suta, terimakasih
atas pengorbananmu dan tentunya akan ada imbalan atas kesetiaanmu ini”, ujar
Dewi Nawang Sari. Jalak Suta hanya terdiam sambil mengangguk dan kedua telapak
tangannya merapat di depan wajahnya dambil menjawab, “Terimakasih, Kanjeng
Ratu..”.
Mpu Tunggah tersenyum simpul
seraya berkata dan menepuk pundak Jalak Suta, “istirahat lah di kamar yang
telah disediakan setelah perjalanan yang jauh...”.
“Terima kasih Kanjeng Ratu...
terimakasih Mpu...,” jawab Jalak Suta sambil menghormat pada kedua teman bicara
nya dan dia pun beringsut mundur meninggalkan tempat pertemuan itu.
Kini tinggallah Mpu Tunggah dan
Dewi Nawang Sari sepeninggal Jalak Suta yang menyusul rekan-rekannya yang lebih
dahulu beristirahat.
“Rencana kita semakin jelas. “,
ucap Dewi Nawang Sari kepada Mpu Tunggah yang kemudian manggut-manggut
mempermainkan janggutnya yang memutih.
“Benar, Kanjeng Ratu... walau
tidak sepenuhnya selesai dengan segera, namun lambat laun akan sirna dari
mayapada ini”.
Dewi Nawang Sari kemudian
beranjak dari duduknya sambil memainkan kipas cendana yang senantiasa
dipegangnya dia berkata-kata, “harus segera Mpu Tunggah, tidak boleh terlalu
lama”.
Orang tua itu kemudian ikut
beranjak dan berdiri agak jauh dari Dewi Nawang Sari.
“Apakah Kanjeng Ratu punya
rencana lain ?” Tanya Mpu Tunggah perlahan.
“Benar..”, Dewi Nawang Sari
berbalik menghadap Mpu Tunggah sambil menepukkan kipasnya ke telapak tangan
kirinya. “Berita dari telik sandi Mpu.... Raden Kian Santang salah satu putra
Kakanda Raja akan berkunjung ke tlatah Pajajaran”.
Wajah Mpu Tunggah menampakkan
rasa terkejut dan matanya sedikit melebar tanda keterkejutannya yang luar
biasa. Umumnya dalam mendapat berita apapun walau berita baru dan membuatnya
tekejut sekalipun tak akan membuat air mukanya berubah tetap datar tak beriak.
“Kian Santang....”, gumamnya.
Siapa yang tidak tahu siapa Raden Kian Santang, asal usul nya dan apa yang di
anutnya dalam beribadat. Pemahaman baru di seluruh nuswantara, agama baru. Para
Raja Nuswantara sudah beralih ke pemahaman baru itu. Hal ini membuatnya
terlonjak kaget, mengingat apa dan siapa dibelakang Raden Kian Santang. Sebuah
kekuatan yang besar dan tergabung dalam pemahaman baru tersebut.
Sesaat Mpu Tunggah seperti kehabisan
kata-kata.
Kemudian, “Kapan pasti nya Raden
Kian Santang ke Pajajaran Kanjeng Ratu ?”
“Saya belum dapat memastikan,
namun perkiraan saya 6 minggu dari sekarang, Mpu..”, sahut Dewi Nawang Sari.
“Kita harus bergerak cepat, tidak
dapat menunggu lagi..”, sang selir Raja Mundingwangi ini menegaskan
keinginannya dan harapannya kepada Mpu Tunggah yang dikenalnya banyak akal.
Mpu Tunggah merapatkan kedua
telapak tangannya dan dalam posisi menyembah, “Kanjeng Ratu.. serahkan semuanya
kepada hamba dan saya minta puragabaya Jalak Suta menjadi penghubung antara
saya dan Kanjeng Ratu...”.
“Baik, Mpu... saya akan
menugaskannya”, tukas Dewi Nawang Sari sambil bergerak meninggalkan ruang
tempat pertemuannya dengan Mpu Tunggah. Diluar sudah siap kereta nya dan sang selir
pun kembali menuju kekediamannya diiringi para prajurit dan pasukan sandinya
yang telah beristirahat sejenak. Mereka akan melanjutkan istirahat di tempat
barak mereka di kediaman sang selir. Mereka memang ditempatkan untuk menjaga
keluarga kerajaan yang mana mereka boleh memilih orang-orang dari pasukan yang
telah disiapkan kerajaan.
Syahdan, berita sakitnya putri
Kadita yang merupakan Abhiseka Pajajaran telah di sayembarakan. Tabib manapun
jika mampu menyembuhkan sakit misterius itu akan mendapat imbalan dan akan
diangkat menjadi Tabib Istana..
Banyak juga yang mencoba
mengobati sang putri Kadita tapi semua tak mampu mengobati apalagi menelusuri
asal muasal penyakit tersebut. Mereka rata-rata memahami bahwa ini bukanlah
penyakit biasa tetapi penyakit buatan dengan kekuatan yang sangat tidak lazim
dn sangat kuat. Bahkan para tabib yang mencoba mengobati hampir tidak mampu
mencium bau busuk yang keluar dari tubuh putri Kadita. Bahkan dari luar kamar
peraduannya pun akan tercium bau tersebut. Betapa tersiksanya sang putri,
siapapun akan merasakan itu jika dalam kondisi sang putri.
Namun, untuk makan dan berjalan
walau tertatih-tatih... putri Kadita dapat melakukannya. Hanya dalaam tempo
beberapa hari saja sekujur kulit nya itu dari bernanah menjadi timbul ulat-ulat
yang entah darimana munculnya... wajahnya yang jelita menjadi sangat mengerikan
dan dulu banyak para pangeran yang mati-matian ingin mempersunting nya kini
jangan kan pangeran... prajuritpun akan mundur menjauhi. Namun jangan salah
kira, para embn dan prajurit setia penjaga putri Kadita sedikitpun tak
beringsut menjauhi bahkan mereka ikut trenyuh akan nasib yang mendera dan
mencobai junjungannya itu.
Hari –hari berlalu sudah lewat 2
pekan sejak Putri Kadita terserang angin jahat, muncul berita bahwa ada seorang
tabib yang menyatakan siap membantu dengan ikhlas penyakit putri Kadita. Si tabib ini memahami asal muasal penyakit
tersebut dan memiliki penangkalnya. Berita didapat dari petugas kerajaan yang
disebar ke penjuru negeri oleh Raja Mundingwangi dan tidak sia-sia.
“Panggil Purgabaya Sadewa...”,
ucap sang Raja pagi itu kepada para penasihatnya di balairung kerajaan.
Perintahpun berlanjut dan tak lama muncullah seorang lelaki gagah dengan kumis
tipis dan bermata tajam bagaikan mata elang.
“Sendika Prabu... hamba siap
menerima titah ...!” Ucap Sadewa setelah terlebih dahulu beringsut dan
menyembah kepada raja nya itu... kepala nya tertunduk tanda hormat dan siap
menerima tugas.
Sadewa merupakan salah satu Purgabaya
pilih tanding dan telah melewati berbagai tugas serta pertempuran sehingga
diangkat menjadi Purgabaya di lingkungan kerajaan. Ketrampilan berkuda dan
membentuk barisan tempur dikuasainya dengan baik. Tak salah karir nya meroket
dan tentu sebagai lelaki yang berwajah rupawan ada satu kegemaran yang buruk,
dia senang bertandang ke tempat ledhek yang berpupur tebal. Sehingga diusianya
yang cukup matang dia belum menentukan pilihan pasangan hidupnya.
Sang Raja menatap Purgabaya
Sadewa dan berkata, “pergilah ke ujung timur batas kerajaan ini, jemputlah
seorang tabib dimana disana sudah menunggu prajurit yang menemukan tabib itu.”
“Sendika, Prabu...., titah paduka
hamba laksanakan”, ucap sang Raja sambil tangannya melakukan sembah.
“Pergilah, bawa pengiring mu
secukupnya..”.
“Sendika, Prabhu.... hamba mohon
restu dan pamit...”, Purgabaya Sadewa beringsut mundur dan meninggalkan
ruangan.
Pembicaraan tersebut didengar
oleh Mpu Tunggah yang ikut hadir di balairung tersebut. Tangannya kemudian
melambai samar kepada prajurit jaga yang berpihak kepadanya.
Prajurit itu tidak terlihat dan
dari balik tirai dia berdiri siap mendeengar apa yang ingin disampaikan Mpu
Tunggah.
“Ambil kotak kecil berisi sebuah
botol kaca di dalam lemari ruang meditasi, sampaikan ke Kidang Tangkas. Jangan
sampai tabib itu tiba di istana”, bisik Mpu Tunggah kepada Wuryan si prajurit
sambil memberikan simbol lencananya.
“Baik Kanjeng..”, Wuryan pun
segera melesat pergi. Sesampai di tempat pekatik diambilnya kuda dan diapun
segera membalap ke kediaman sang Mpu. Tak jauh dan tak lama, ia sudah ditempat.
Disana Wuryan menunjukkan lencana sang Mpu kepada penjaga dan ia pun menuju
ruangan yang dimaksud. Tak lama ia pun dapat menemukan apa yang dicarinya
sesuai pesan Mpu Tunggah.
Kidang Tangkas adalah lurah
prajurit kepercayaan Purgabaya Sadewa dan merupakan kerabat jauh dari Mpu
Tunggah yanng sedari kecil sudah dititipkan kedua orang tuanya kepadanya untuk
mengabdi dan merubah kehidupan menjadi lebih baik. Tidak sia-sia harapan kedua
orang tuanya, Kidang Tangkas memang setangkas kijang, gesit dan cekatan
sehingga dengan mudah ia masuk ke dunia militer atas titipan Mpu Tunggah.
Sehingga mata dan telinga Mpu Tunggah untuk dunia keprajuritan ada pada Kidang
Tangkas.
Berita bahwa ada tabib dibatas
timur kerajaan sampai juga ke Dewi Nawang Sari. Saat itu juga ia meminta
puragabaya Jalak Suta untuk bertindak agar jangan sampai tabib tersebut sampai
ke istana. Semua tindakan dan upaya diserahkan kepada Jalak Suta.
Tak perlu lama karena Jalak Suta
beserta pasukan khusus nya memang tinggal di barak yang disediakan disekitar
tempat tinggal selir raja. Mereka tidak berpakaian resmi dan bagaikan
masyarakat umum, Kuda mereka juga menggunakan kuda yang bukan digunakan
keseharian dalam tugas. Kuda prajurit berbeda dengan kuda masyarakat umum,
rata-rata memiliki pengenal.
Mereka dalam satu kelompok ada
sekitar 10 orang, berkuda dengan cepat dan dengan seragam hitam-hitam agar
menjadi samar tak dikenal. Tujuannya adalah mendahului rombongan Purgabaya
Sadewa. Sementara itu yang didahului baru keluar dari kerajaan, mereka tidak
menyadari bahwa akan ada sesuatu yang akan menghadang perjalanan mereka.
Rombongan Jalak Suta tiba dihutan
pinggir timur batas kerajaan di tengah hari, hutan itu masih sangat rimbun dan
pekat. Tetapi jalur itu tetap ramai dilewati oleh mereka yang sering berdagang
antara wilayah barat dan timur. Namun para pedagangs pasti membawa pengawal
yang biasanya para pengawal ini rata-rata para pendekar yang tergabung dalam
suatu usaha pengawalan. Jika tidak dikawal, begal dan rampok selalu beroperasi di
hutan tersebut sehingga mau tidak mau para pedagang menyewa usaha pengawalan
demi keamanan baarng dagangan mereka.
Bukan nya para begal itu tidak
tahu akan kedatangan serombongan orang-orang yang tak dikenal. Mata-mata begal
yang berjaga di hutan tersebut melihat bahwa yang datang ini bukan orang-orang
biasa dan dilihat dari persenjataan yang dibawa serta ketangkasan dalam gerak
mereka. Sehingga mata-mata begal tak berani memberi tanda memanggil
teman-temannya, justru mereka malah meninggalkan hutan itu. Hawa pembunuhan lah yang mereka rasakan dan
mereka pun tak ingin membuang nyawa secara percuma bentrok dengan orang-orang
tak dikenal itu.
Sementara rombongan Sadewa baru
dapat melewati hutan tersebut ketika matahari telah bergeser ke arah barat. Mereka
memasuki hutan dan melewati semak yang masih rapat dengan tanpa gangguan, tiada
rasa khawatir karena biasa nya para begal akan berrpikir jauh untuk berhadapan
dengan para prajurit. Namun mereka tidak menduga bahwa ada 10 pasang mata yang
mengawasi dengan seksama, kali ini bukan begal tetapi orang-orang terrpilih
yang biasa bertugas secara samar, mereka telik sandi yang memiliki tugas yang
juga khusus. Ini lah yang disebut dengan kepentingan politik dari elit politik
kerajaan, yang mana dalam satu kesatuan pun dapat terjadi pertikaian.
Jalak Suta telah memerintahkan
untuk tidak mengganggu rombongan Purgabaya Sadewa saat melintasi hutan untuk
menjemput sang tabib. Namun sekembalinya rombongan itu akan di cegat. Apapun
yang terjadi si tabib tidak boleh sampai ke Kerajaan dan sebagai rencana
cadangan ada Kidang Tangkas yang juga bersiap dengan racunnya jika upaya
pencegatan gagal.
Desa tempat tinggal tabib itu
cukup besar dipinggir hutan dimana para pedagang selalu singgah sebelum
melanjutkan perjalanan atau setelah melintasi hutan tersebut. Setelah melewati
hutan mereka pun memasuki desa dan dipinggir desa itu rombongan Purgabaya
Sadewa telah ditunggu oleh 2 orang prajurit perbatasan. Mereka ada 3 orang
termasuk si tabib, sepertinya sudah siap berangkat.
Sinar mentari pun mulai meredup
ketika mereka berjumpa, karena mengingat situasi dan kondisi putri Kadita yang
semakin memburuk serta esedihan yang mendalam dari sang Raja serta permaisuri
mereka pun langsung kembali menuju kerajaan bersama sang tabib.
Tabib ini bernama ki Pandu adalah
merupakan saudara seperguruan Ki Pati, berita putri Kadita telah didengarnya
dan dia sangat masygul terhadap kejadian ini. Dari ciri yang diderita putri
Kadita, dia dapat memperkirakan bahwa itu adalah perbuatan saudara seperguruannya.
Rasa welas asih ki Pandu akan pederitaan calon pengganti sang raja lah yang
membuatnya terrgerak untuk membantu mengobati putri Kadita,
Ki Pandu lebih banyak
berkecimpung membantu masyarakat bawah dengan ikhlas yang berbanding terbalik
dengann ki Pati saudara seperguruannya itu.
Sinar bulan mulai menggantikan
sinar mentari dan menggelayut di ujung ranting pepohonan hutan saat rombongan
memasuki pinggiran hutan.... suara binatang malam biasanya riuh menyambut sang
malam, kali ini senyap seolah mereka tahu akan terjadi sebuah kejadian yang tak
tercatat dalam sejarah panjang nuswantara amun tercatat dan terkubur dalam
lipatan peristiwa menanti dibuka nya kisah ini kembali.
Saat melintasi peertengahan hutan
dan sinar bulan sulit menembus rerimbunannya, tiba-tiba terdengan desingan anak
gandewa membelah malam dan seketika membuat roboh separoh penunggang kuda
rombongan Purgabaya Sadewa... dan dari semak berkelebat bayangan meluruk dan
menghantam dengan sabetan pedang...
“Begal.... !” Teriak Purgabaya
Sadewa yang langsung mengelak saat kilatan pedang dari Jalak Suta hampir
mengenai wajah nya dan terjadilah pertempuran sengit dalam pekatnya malam.
Jerit kesakitan tanda orang yang tersabet pedang yang merobek tubuh para
prajurit penjemput tabib Ki Pandu membelah malam di hutan.
“Kidang....!” Teriiak Purgabaya
Sadewa.
“Purgabaya.. “. Teriak Kidaang
Tangkas.
“Mana Ki Pandu ?”
“Tewas tersambar anak gandewa, Purgabaya...”.
Jawab Kidang Tangkas.
Purgabaya melihat perlawanan dari
penyerang semakin memberi tekanan kuat dan prajurit pengiring nya bukan lah
prajurit tempur sudah pupus dua pertiga membuat nya harus membuat keputusan
cepat.
“Tinggallkan semua....kembali ke
markas”, teriak Purgabaya Sadewa. Tugasnya yang semula berhasil menjadi gagal,
dia dan sisa pasukan harus selamat untuk melaporkan kepada sang raja.
Tak perlu menungggu lama, karena
tinggal 5 orang termasuk Purgabaya Sadewa dan Kidang Tangkas yang selamat.
Mereka menarik diri dari langan pertempuran dan tanpa diduga segera melesat
pergi ke arah kerajaan.
“Jangan kejar.!” Teriak pemimpin
penyerang yang tak lain adalah Jalak Suta mencegah pasukannya berusaha mengejar
Purgabaya Sadewa dan rombongan. Mereka pun berhentii mengejar dan kembali
berkumpul memeriksa satu-satu mayat yang bergelimpangan.
“Adakah mayat si tabib ?” Tanya
Jalak Suta.
“Disini, taunku... “, ucap salah
satu prajurit bawahan Jalak Suta.
Merekapun menuju tempat dibawah
pohon besar dipinggir jalan hutan, tampak seorang lelaki tua berbaju krem tua
dengan membawa tas obat-obatan bersandar dipohon itu dan di dadanya tertancap
anak gandewa.
Jalak Suta mendekat dan
telunjuknya diulur ke lubang hidung mayat ki Pandu untuk memastikan nafasnya
sudah putus... kemudian dia memeriksa urat nadi leher dan dia merasa tidak ada
detak nadi Jalak Suta harus dapat memastikan bahwa tugasnya selesai dengan
gemilang.
Setelah yakin semua tidak ada
yang hidup, Jalak Suta memerintahkan untuk membawa maat itu semua ke dalam
hutan yang lebih lebat, disana mereka menguburkan mayat-mayat pasukan dan ki
Pandu yang gugur. Selain memastikan aman merekapun tidak ingin jejak yang di
tinggalkannya dengan mengubur dalam tanah.
Dini hari, selesailah tugas
mereka dan mereka pun pulang dengan perlahantidak sebagaimana saat mereka
pergi. Mereka mengganti seragam hitam-hitam dengan pakaian biasa agar tidak
terlalu menyolok perhatian.
Apa yang terjadi di Ibukota
sekembali nya Purgabaya Sadewa dan apa tindak lanjut Dewi Nawang Sari ? Tunggu
kelanjutan kisah berikutnya.... Sementara ia berpacu dengan waktu akan
kedatangan Raden Kian Santang